Karya Nazar Shah Alam
Sumber:
Serambi Indonesia, 3 November 2013
PENGUMUMAN
pendek dalam aksara Arab-Jawi itu ditempel di sudut-sudut kota. Orang-orang
yang membacanya tersengat bahagia dan menyebabkan wajah mereka berseri. Warga
kota merencanakan penyambutan besar-besaran di pelabuhan. Para musisi, penari,
pemain tonil, dan pelawak berjanji akan bersatu memeriahkan penyambutan pada
hari yang belum ditentukan. Kota menjadi bergairah. Bendera kenegerian
dikibarkan, umbul-umbul dipasang, dan rumah-rumah dipulas warna cerah.
Kembalinya lelaki keramat itu kian santer saja dibicarakan.
Orang-orang
meyakini kota mereka sudah dikutuk. Bertahun-tahun krisis melanda. Kejahatan
demi kejahatan merajalela. Rakyat jelata terpuruk dalam kesengsaraan. Kota
berdebu dan kotor. Sudah sejak lama orang memanjatkan doa berharap tibanya
seseorang yang dapat menghapus kutukan. Konon, hanya lelaki itu, yang mampu
menghapus kutukan. Dia keramat, tanah yang dipijaknya akan subur.
Mahaguru
dimaksud pernah menetap di kota ini sebelum pergi ke negeri jauh. Dia seorang
pemuda budiman. Kabar kekeramatannya dibawa oleh pedagang yang berdagang di
Bandar Pinggir sekian tahun lalu. Para pedagang pula yang mengabarkan perihal
kepulangannya dalam tahun ini.
Beberapa
tahun sebelumnya, juga sempat tersiar kabar tentang kepulangan Mahaguru.. Namun
setelah seberapa kali berita itu dihembuskan, dan warga kota menunggu, sejumlah itu pula mereka harus menelan
kekecewaan. Paling menyakitkan, Mahaguru katanya pernah hampir mencapai
pelabuhan Bandar Pinggir. Namun dia mengurungkan pendaratannya. Penyebabnya,
Persekongkolan Mujair, menghalangi kepulangan Mahaguru. Persekongkolan Mujair
merupakan kawanan perompak yang menguasai perairan Bandar Pinggir.
Di sudut
sebuah warung kopi di pinggir pasar ikan, duduk empat anggota perompak
tersebut. Mereka mudah dikenali, sebab selalu berpakaian sama: jubah putih
belel, ikat kepala hitam, dan tersampir badik di pinggang. Orang-orang yang
ingin masuk ke warung tersebut mengurungkan niat mereka begitu mengetahui siapa
yang sedang minum kopi. Raut wajah para perompak tampak serius.
“Kita harus
berlayar empat hari sebelum Mahaguru mencapai pelabuhan,” kata Wak Lohor,
perompak berkepala botak.
“Shakir, kau
perbaiki rumah di Gunung Teureseh. Kali ini kita akan membawa Mahaguru ke rumah
itu.”
“Bagaimana,
Tuanku?” tanya Shakir dengan logat Bandar Besar yang kental kepada pemimpin
komplotan.
“Lakukan
saja yang terbaik, kita harus lebih
cepat dari orang kebanyakan,” ucap Pheng Ko, pemimpin Persekongkolan Mujair
sembari mengeratkan karet yang membelit rambutnya.
Bau amis
ikan berhembus masuk dan menguap begitu saja di warung kopi ini. Seorang
pengemis kecil bermata cekung mendekati meja mereka. Dengan tersenyum Shakir
menyodorkan selembar uang ke tangan mungil si pengemis. Pengemis kecil itu
keluar. Pheng Ko menghantam meja.
“Sialan, orang-orang
kota ini akan merasakan pembalasan. Ayo cepat!”
Tak lama
setelah anggota Persekongkolan Mujair meninggalkan kedai kopi itu, sekelompok
tentara memenuhi pasar. Wajah mereka beringas. Tangan mereka siaga menggenggam
senjata yang siap diletuskan. Warung-warung mereka periksa dengan seksama.
***
Mahaguru
akan tiba pada 15 Dzulqaidah. Dua hari sebelumnya warga kota sudah berkumpul di
pelabuhan. Betapa cepat mereka membangun dan merias panggung. Rencananya,
ketika Mahaguru tiba, barisan Barzanji akan mulai melantunkan senandung selamat
datang, setelah itu giliran para penari yang akan mempersembahkan tarian
penyambutan. Adapun para bijak bestari, akan menyambut Mahagur dengan
pidato-pidato penghormatan. Baru pada malamnya Mahaguru diminta membacakan doa-doa
keberkahan.
“Kapal
Mahaguru sudah berlayar, Tuan!” begitu laporan Hamdaniah ketika dia tiba
membawa bekal kenduri dari kota ke Pulau Tengah, “Para serdadu telah menyebar di seantero pantai dan kapal perang mereka ikut
berjaga-jaga di laut lepas.”
Pheng Ko si
Cina menatap tajam lelaki berambut keriting di depannya.
“Sampai
begitu mereka menjaga kedatangan Mahaguru?” tanya Pheng Ko sambil tersenyum dan
menggeleng-geleng kepalanya, ”Berlebihan sekali. Sekarang berlayarlah kau ke
kota. Hembuskan kabar bahwa aku dan Wak Lahor sudah mati dibunuh atas suruhan
Mahaguru tadi malam. Jangan lupa, katakan, Shakir pun telah ditawan. Mahaguru
akan tiba pada saat yang dijanjikan.”
Hamdaniah
melarung sampannya ke laut dengan kecamuk tawa yang tak kuasa ditahannya.
Hamdaniah
mengayuh sampannya membelah arus laut malam hari. Pantulan cahaya bulan
menggenangi air laut serupa kilatan permata. Hamdaniah diselimuti kenangan.
Betapa komplotan ini, Persekongkolan Mujair, dulunya tak lebih dari para
pemancing miskin yang sering dicurangi di pajak ikan. Pasar ikan dikendalikan
oleh seorang pengusaha kapal-kapal besar dan semua pedagang ikan mesti membayar
pajak yang mahal.
Pheng Ko si
Cina dan Wak Lahor akhirnya mencetuskan perlawanan melawan tengkulak kaya raya
itu. Mereka menciptakan Persekongkolan Mujair, yakni serikat tempat berkumpul
para pemancing dan pedagang ikan. Persekongkolan Mujair sering meraih
kemenangan dalam setiap perundingan dengan si tengkulak. Hal ini bisa terjadi
karena Persekongkolan Mujair dibantu perompak lintas negara mencegat
kapal-kapal sang saudagar di laut lepas sebagai jaminan bahwa perundingan di
darat berlangsung dengan adil. Pasar
ikan kemudian dibagi dua: setengah untuk si pengusaha kaya, setengah untuk
nelayan miskin, dan sekarang tidak ada lagi pajak yang dikutip dari si miskin.
Walaupun
sudah dibagi, pasar ikan tetap tidak berpihak kepada para nelayan dan pedagang
ikan. Si tengkulak menjual ikannya lebih murah. Itu sebabnya, Persekongkolan
Mujair memutuskan menjadi perompak sekalian. Tidak semua anggota mereka setuju.
Merompak di negeri yang dijaga ketat oleh marinir tidak baik untuk dijadikan
pilihan hidup. Selain itu, menjadi perompak kapal dagang juga akan dimusuhi
orang-orang kota, karena mengganggu masuknya pundi-pundi uang mereka dari kapal
dagang. Persokongkolan Mujair tinggal sedikit dan dimusuhi warga kota. Mereka
terusir dan menetap di Pulau Tengah. Pulau ini tidak tersentuh pemerintahan
mana pun sebab berada di perairan bebas.
Kapal
Mahaguru digiring ke Pulau Tengah lepas Zuhur 15 Dzulqaidah. Lelaki berjubah
rapi turun dari kapal diikuti Wak Lahor dan para pengawal. Setelah
menghembsukan desas-desus, Hamdaniah tiba dan membisikkan betapa warga kota
girang mendengar kabar kematian Pheng Ko dan Wak Lahor. Mereka menghubungkan
kematian kedua bandit ini dengan kedatangan Mahaguru yang penuh tuah.
“Tuan
Mahaguru, saya dengar Tuan orang keramat. Negeri yang Tuan pijak akan bertuah.
Orang-orang kota percaya Tuan bisa menghilangkan kutukan di tempat yang Tuan
singgahi,” Pheng Ko menyindir tamunya.
Shakir,
Hamdaniah, dan Wak Lahor tergelak.
“Kami
bawakan kalian oleh-oleh persembahan orang Labuhan. Silakan dibagi. Apakah
orang Bandar Raya berduka kalau saya tidak tiba?” tanya Mahaguru dengan suara
lembut.
“Mereka
paling akan saling menyalahkan. Dan sudah pasti mereka akan kecewa,” ujar Wak Lahor.
Mahaguru
menatap tajam empat anggota Persekongkolan Mujair itu. Mereka diam. Sebentar
kemudian terdengar tawa membahana. Pulau Tengah yang terpencil sedang berpesta
menyambut kedatangan anggota kelima mereka.
Di Pelabuhan Bandar Pinggir orang-orang berdiri di pinggir pantai,
menunggu kedatangan Mahaguru dengan harapan lelaki bertuah itu bisa
menghilangkan kutuk yang menimpa kota mereka. []
Rumah
Jeuneurob, 19 September 2013
*Penulis
adalah Ketua Komunitas Jeuneurob Banda Aceh.
0 komentar:
Posting Komentar