-Budi Darma (Kompas, 29 Juli 2012)
TIDAK mungkin sebuah negara dipimpin oleh
orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai
pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu,
semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat
segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka
akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit
kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi
rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk
kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke
dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat
beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan “Hidup
Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat,
namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut
kedatangan Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh
hormat untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi
padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin
yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung
dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat
(bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya
diambil dari nama presidennya).
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya
sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia
akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu
tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak
persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya
dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana
dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak
pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus
untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak
pimpinan negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan,
pendidikan, kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan
juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara
mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua
kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam
setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh
menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan
negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan,
juga dengan sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai,
berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri
muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga
negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara,
tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda
menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan
bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian
banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam
keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya,
kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya
beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam
Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian,
dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.
“Nirdawat, cobalah kita kenang kembali
masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di
rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai
keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi
teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.”
“Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata
Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan
sebuah peta dan menggantungkannya di dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri
pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka
tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama
nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik
Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu
disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini
juga berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan
gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan
gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah
tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya
berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada
kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan
tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu
sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah
wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan
wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan
bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara
pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi
dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak
menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan
tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti
dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar
tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam
undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas
mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden.
Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja
tidak ada batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya
bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik
demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu
dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik
Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam
undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai
akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat
Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan
semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun
berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi
syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai
warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik
demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi
Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir
mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas
disisipkan ke dalam otak Abdul Jedul, dan tamatlah riwayat Abdul Jedul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul
juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu
bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke
tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan
karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai
warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka
foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan
hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh
semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri
selama beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini
tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak
Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi
membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih
payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau
perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha
memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun
sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi,
tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa
diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan
dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi
komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan
radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti
dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat.
“Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat,
sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu
menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden,
terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama
baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara.
Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus
diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun
juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua
periode, masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu,
tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol
diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul
Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja
dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara,
yaitu Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau
Nirdawat sering melawat ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan
ke beberapa negara di Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik
Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan.
“Sebagaimana kita ketahui bersama, semua
kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita.
Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar
biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang
jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.”
“Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata
sekian banyak wartawan dengan serempak.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua
pujian kepada negara mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran
mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat
mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden
Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian
banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali
belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir
tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang
belum terjamah oleh Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal
makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan
catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji
keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara
itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu.
Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak
pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang
rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik
Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung
justru bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa
menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/29/tangan-tangan-buntung/
0 komentar:
Posting Komentar