Senin, 03 Juni 2013

Puisi-Puisi Akmal M Roem


Setelah Malam Kembang Api
 Oleh: Akmal M Roem

Perempuan yang terlahir dari percikan terakhir kembang api
pada satu malam basah yang dingin
Kini telah menjelma bintang sepi
mengapung di laut hitam

Seorang lelaki menemukan sebuah tulisan
yang ditulis oleh perempuan itu
sayatan kata pada secarik kertas lusuh itu
hendak ia ungkapkan tentang kemerdekaan
yang telah diraihnya
setelah  menelan habis simponi angin di bawah gerimis

Kata Perempuan: “Aku tak bisa menyatukan bintang itu. Laut menolakku.
Mereka berkata bahwa akulah putri duyung yang tak bisa berenang itu.”

Kata Lelaki: “Telah tuhan wujudkan kedamaian di antara ribuan bintang itu.
Meski kau harus merebutnya dengan jalan sulit.”

Sebelum malam itu ada,
Seorang nenek tua bernujum pada si perempuan
tentang lelaki yang akan hadir dalam mimpi
lalu kehidupan indah untuk merubah puisinya

Kata Perempuan: “Aku malu bermimpi. Tuhan lebih senang membuatku sedih.”

Kata Lelaki; “hidup yang mesti dialui tak pernah lepas dari sedih dan senang.
Jangan biarkan angin merenggutnya.”

Setelah itu semua berubah
Perempuan itu telah hilang bersama letupan kembang api terakhir
Pada satu malam tak berbintang
Hujan pula yang menenggelamkan harapannya
untuk bertemu kembali dengan si nenek dan lelaki itu

Kata Perempuan: “pantaskah tuhan mengabadikan kesedihan bagiku,
di mana kebahagiaan yang telah dijanjikan?”

Lelaki itu kemudian hanya terdiam
melihat lembut coretan bertuliskan:
 “fa in tagfir fa anta lidzaka ahlun, wa in tathrud faman narju siwaka”

Tertegun.
Rindu meriuhkan ombak
Dan pada percik kembang api terakhirnya
Ada sebuah harapan;
Masih adakah ia kini?


Jakarta-Pontianak, Januari 2013


MENCARI JALAN PULANG
Oleh: Akmal M Roem

Sebarapa lama aku bisa mendengar keluhmu, kawan
Bukankah setiap manusia diberikan banyak rupa masalah
Tentu hal itu diberikan agar kau bisa memahami itu semua
Agar kau bisa membuat perubahan dalam dirinya

Kau penyair yang dititip hujan
Aku tahu itu
Lewat petir dan gemuruh guntur yang membosankan
Kau datang dan tak pernah diam setelahnya
Seberapa penting aku perlu mengetahui masalahmu
Bukankah setiap orang hanya bisa memberikan saran
Selebihnya kau sendiri yang menyelesaikan itu semua
Kaulah yang harus mengubur setiap dukamu
Bukan orang lain

Kau itu penyair yang membosankan
Mengurung diri dalam dekapan kata-kata usang
Bahkan, bila mau, aku bisa menguburmu dalam puisi ini
Dalam kata, yang kau sendiri akan benar-benar paham
Bahwa menulis bukan hanya sekadar menuangkan gelisah
Pada secarik kertas
Lalu dibaca
Lalu dipuji
Lalu minta untuk ditanggapi
Aku tidak butuh itu
Kita tidak sama bukan?

Kalau kau mau berubah, ya, berubah
Cari jalan pulang
Agar kau tak menjadi kegelisahan orang lain

eL Lheertus, Desember 2011 – Februari 2012
sumber: acehkita.com

Hujan Kenangan 

Oleh: Akmal M Roem

Untuk kesekian kalinya
Aku mengisap sebatang kenangan
Pada waktu yang berbeda
Ada hujan yang sedang turun deras

Aku tidak sempat melihat engkau
Menyusuri lelorong sunyi
Tanpa menoleh ke belakang
Memapah kegelisahan yang dahsyat
Menyembunyikan diri dari kebenaran

Bahwa langit memang sedang resah
Ia tidak pernah bisa untuk selalu memberi cahaya terang
Meski matahari tetap pada tempat semula
Karena ada gumpalan pekat yang datang secara tiba-tiba

Ada gundah menyasak di setiap tetes hujan yang turun
Berusaha mengerti apa yang sedang kau rasa
Ada kegamangan yang nyata di setiap butirnya
Melampaui kengerian yang kita rasakan
Bahkan kita sempat melihatnya, bukan?
Seluruh hati terenyah

Hujan mengepung dari seluruh penjuru
Mengumpul hingga menjadi bah
Maha dahsyat
Tak sempat kau menoreh ke belakang
Dalam lorong itu
Semua lenyap

Tinggal lumpur dan pohon kenangan

Kini aku hanya bisa berusaha menelan resah
Dalam waktu yang berbeda
Mengingat bandang menghanyutkan kau
Dan seisi kampung

Setelah pohon mereka tebang
Selanjutnya kematian yang mereka undang

(Banda Aceh, 2011)
sumber: acehkita.com


Akmal M Roem, aktivis kebudayaan. Saat ini mengabdi sebagai guru di pedalaman Kalimantan Barat.

0 komentar:

Posting Komentar