Setelah Malam Kembang Api
Oleh: Akmal M Roem
Perempuan
yang terlahir dari percikan terakhir kembang api
pada satu
malam basah yang dingin
Kini telah
menjelma bintang sepi
mengapung di
laut hitam
Seorang
lelaki menemukan sebuah tulisan
yang ditulis
oleh perempuan itu
sayatan kata
pada secarik kertas lusuh itu
hendak ia
ungkapkan tentang kemerdekaan
yang telah
diraihnya
Kata
Perempuan: “Aku tak bisa menyatukan bintang itu. Laut menolakku.
Mereka berkata
bahwa akulah putri duyung yang tak bisa berenang itu.”
Kata Lelaki:
“Telah tuhan wujudkan kedamaian di antara ribuan bintang itu.
Meski kau
harus merebutnya dengan jalan sulit.”
Sebelum
malam itu ada,
Seorang
nenek tua bernujum pada si perempuan
tentang
lelaki yang akan hadir dalam mimpi
lalu kehidupan
indah untuk merubah puisinya
Kata
Perempuan: “Aku malu bermimpi. Tuhan lebih senang membuatku sedih.”
Kata Lelaki;
“hidup yang mesti dialui tak pernah lepas dari sedih dan senang.
Jangan
biarkan angin merenggutnya.”
Setelah itu
semua berubah
Perempuan
itu telah hilang bersama letupan kembang api terakhir
Pada satu
malam tak berbintang
Hujan pula
yang menenggelamkan harapannya
untuk
bertemu kembali dengan si nenek dan lelaki itu
Kata
Perempuan: “pantaskah tuhan mengabadikan kesedihan bagiku,
di mana kebahagiaan
yang telah dijanjikan?”
Lelaki itu
kemudian hanya terdiam
melihat
lembut coretan bertuliskan:
“fa in tagfir fa anta lidzaka ahlun, wa in
tathrud faman narju siwaka”
Tertegun.
Rindu meriuhkan
ombak
Dan pada percik
kembang api terakhirnya
Ada sebuah
harapan;
Masih adakah
ia kini?
Jakarta-Pontianak,
Januari 2013
MENCARI
JALAN PULANG
Oleh: Akmal M Roem
Sebarapa lama aku bisa mendengar keluhmu,
kawan
Bukankah setiap manusia diberikan banyak rupa
masalah
Tentu hal itu diberikan agar kau bisa
memahami itu semua
Agar kau bisa membuat perubahan dalam dirinya
Kau penyair yang dititip hujan
Aku tahu itu
Lewat petir dan gemuruh guntur yang
membosankan
Kau datang dan tak pernah diam setelahnya
Seberapa penting aku perlu mengetahui
masalahmu
Bukankah setiap orang hanya bisa memberikan
saran
Selebihnya kau sendiri yang menyelesaikan itu
semua
Kaulah yang harus mengubur setiap dukamu
Bukan orang lain
Kau itu penyair yang membosankan
Mengurung diri dalam dekapan kata-kata usang
Bahkan, bila mau, aku bisa menguburmu dalam
puisi ini
Dalam kata, yang kau sendiri akan benar-benar
paham
Bahwa menulis bukan hanya sekadar menuangkan
gelisah
Pada secarik kertas
Lalu dibaca
Lalu dipuji
Lalu minta untuk ditanggapi
Aku tidak butuh itu
Kita tidak sama bukan?
Kalau kau mau berubah, ya, berubah
Cari jalan pulang
Agar kau tak menjadi kegelisahan orang lain
eL Lheertus, Desember 2011 –
Februari 2012
sumber: acehkita.com
Hujan
Kenangan
Oleh: Akmal M Roem
Untuk kesekian kalinya
Aku mengisap sebatang kenangan
Pada waktu yang berbeda
Ada hujan yang sedang turun deras
Aku tidak sempat melihat engkau
Menyusuri lelorong sunyi
Tanpa menoleh ke belakang
Memapah kegelisahan yang dahsyat
Menyembunyikan diri dari kebenaran
Bahwa langit memang sedang resah
Ia tidak pernah bisa untuk selalu memberi
cahaya terang
Meski matahari tetap pada tempat semula
Karena ada gumpalan pekat yang datang secara
tiba-tiba
Ada gundah menyasak di setiap tetes hujan
yang turun
Berusaha mengerti apa yang sedang kau rasa
Ada kegamangan yang nyata di setiap butirnya
Melampaui kengerian yang kita rasakan
Bahkan kita sempat melihatnya, bukan?
Seluruh hati terenyah
Hujan mengepung dari seluruh penjuru
Mengumpul hingga menjadi bah
Maha dahsyat
Tak sempat kau menoreh ke belakang
Dalam lorong itu
Semua lenyap
Tinggal lumpur dan pohon kenangan
Kini aku hanya bisa berusaha menelan resah
Dalam waktu yang berbeda
Mengingat bandang menghanyutkan kau
Dan seisi kampung
Setelah pohon mereka tebang
Selanjutnya kematian yang mereka undang
(Banda Aceh, 2011)
sumber: acehkita.com
Akmal M Roem, aktivis kebudayaan. Saat ini mengabdi sebagai guru di pedalaman
Kalimantan Barat.
0 komentar:
Posting Komentar