Karya : Lien
Tatapan
seorang gadis yang memiliki bola mata biru ini mampu menyihir setiap lelaki
yang menatapnya. Mala, gadis asal Kampung Pasi yang sudah dikenal sejak dulu
sebagai bunga desa di tempat asalnya. Wajahnya yang cantik jelita berhasil mencuri
setiap mata untuk memandangnya. Tapi, semenjak kejadian itu, Mala terus
terdiam, wajahnya pucat, bola matanya putih pasi. Pudarkah pesona Mala?
Aku kembali melanjutkan tugas yang
masih menumpuk ditemani batik panjang pemberian Ibu, ayahku sudah tiada sejak
dua tahun silam. Ibu sangat berharap banyak padaku, hanya aku yang masih
berkeinginan untuk kuliah. Abangku sudah sepuluh kali menikah dan ia selalu
menipu ibuku yang tak paham dengan persuratan tanah. Sudah sepuluh surat tanah
ia gadaikan. Itu abangku. Aku membencinya? Ya, tapi bagaimanapun ia abangku.
Jam dinding kamarku sudah mengetuk beberapa
kali. Malam terlalu sunyi untuk dilewatkan dalam kamar yang sepi ini. Aku harus
segera menyelesaikan skripsiku. Besok aku akan sidang untuk judul skripsiku
yang pertama. Skripsiku membahas tentang pergaulan bebas di kalangan mahasiswa.
Sesekali aku tersenyum terkekeh membaca kembali bahan-bahan yang kucari untuk
penelitian. Tidak sulit bagiku, tapi hatiku
yang sulit untuk menulisnya.
Matahari tampak membangunkanku
dengan sinarnya yang memaksa masuk ke bilik kamarku. Aku menatap jam dinding
yang membuatku tergopoh-gopoh meraih handuk dan gayung mandi berisi
perlengkapan mandi. Aku mulai mengejar waktu. Aku tak sempat lagi
memadupadankan warna pakaian yang kukenakan. Aku segera meluncur ke kampus.
Saat memasuki ruangan, tanganku
mulai kedinginan menatap meja dengan empat orang dosen yang kukenal. Mereka
mempersilakanku untuk duduk dan mempresentasikan judul yang kupilih untuk
skripsiku. Aku berusaha menenangkan diriku. Delapan mata mulai menatapku dengan
berang, sedari tadi aku hanya diam, pikiranku tiba-tiba kosong, aku tak tahu
harus mulai dari mana.
Hpku tiba-tiba berbunyi, aku lupa
untuk mematikannya. Dering yang tak pernah kuinginkan. Saman! Ia berusaha
menghubungiku lagi, setelah apa yang dia pernah lakukan padaku dan ia kembali
lagi. Laki-laki tak tahu malu.
Aku sudah lama mengenal Saman, tiga
tahun yang lalu aku bertemu dengannya di belakang taman, saat ia sedang latihan
untuk sebuah pementasan tunggal. Aku sangat menganguminya, lelaki berbadan
tegap dengan kumis tipis dan rambutnya yang cepak. Bibir tipisnya selalu
membuatku jatuh hati saat ia tersenyum.
“Tolong, matikan hpnya!” titah seorang
lelaki dengan kacamata bulatnya.
“Apa judul yang ingin kamu ajukan?”
Tanya salah seorang dosen dengan suaranya yang berat.
Diam.
“Kenapa kamu terus diam? Kami tak
punya banyak waktu untuk melihatmu duduk seperti patung” celetuk seorang wanita
dengan bibirnya yang merah merona.
“Judul saya …” jawabku terbata-bata.
Aku semakin khawatir dengan keadaan
jiwaku saat ini. Saman terus memenuhi pikiranku. Sialan! Kenapa dia datang saat
aku sudah melupakannya. Amarahku mulai tak karuan, aku berusaha menenangkan
diri. Tanganku mulai putih pucat akibat ruangan yang dingin ditambah rasa
kesalku pada Saman.
Masa itu, aku mulai masuk dalam
kehidupan Saman. Aku mulai mengenalnya, ia selalu memuji kecantikanku, Saman
adalah pemuda yang paling baik yang kukenal, dia selalu membuatku salah tingkah
jika sudah di hadapannya. Aku mulai bergantung padanya, kemanapun ia pergi aku
selalu dibawanya. Tak jarang, ia menghadiahkanku berbagai barang-barang bagus,
awalnya aku tak begitu tahu apa latar belakang pekerjaannya. Tapi, cinta telah
membutakanku, ia telah membuatku menutup mata hingga aku tak pernah bertanya
apa pekerjaannya selama ini.
Malam itu, ia mengajakku bertandang
pada sebuah rumah kecil di belakang bangunan besar di tengah-tengah kota. Ia
mengaku ingin bertemu temannya sebentar, aku mengangguk mengiyakan ajakannya. Aku
mengenakan baju kaos putih dan kardigan merah muda. Aku berusaha berdandan
secantik mungkin saat berjalan bersamanya.
Suasana remang-remang yang kulihat,
bukan seperti rumah biasa. Aku berusaha masuk dan bersikap santai, aku tak
pernah mengenal tempat ini. Saman dengan celana jeans birunya yang tampak robek pada bagian lutut mulai menyambar
gagang pintu dan membukanya perlahan. Saat itulah aku mencium aroma yang sangat
menyengat dari dalam. Aroma yang sangat kubenci- alkohol. Seorang wanita dengan
pakaian seksi mengajak kami masuk. Hatiku mulai berprasangka buruk pada Saman.
Tapi, senyumannya selalu berhasil menenangkan hatiku.
“Mana temanmu?” Aku bertanya
penasaran.
“Tenang dulu, mari kita duduk
sebentar, kamu sangat cantik malam ini, Mala” Saman berusaha merayuku.
“Tempat apa sebenarnya ini?” Aku
duduk dan kembali bertanya.
“Inilah tempatku dan tempatmu juga”
jawab Saman meyakinkanku.
“Maksudmu? Kamu mengenal wanita
itu?” Aku menunjuk pada wanita seksi itu yang sedari tadi melihatku sinis.
“Ya, dia temanku dan temanmu juga”
kembali seperti jawaban sebelumnya.
Percakapan yang selalu saja
membuatku kebingungan ditambah tempat asing yang sangat tidak nyaman bagiku. Botol-botol
anggur tergelatak di mana saja, ditambah asap rokok yang membuatku sesak
dibuatnya. Banyak kamar di sana, aku melihat beberapa wanita keluar-masuk dari
sana. Saman menyodorkan gelas padaku. Aku berusaha menolaknya, tapi ia terus
memaksa untuk mencobanya. Ia selalu berhasil meyakinkanku. Akhirnya, aku
meneguk air dari gelas yang membuat retak kesucianku.
Malam semakin larut, bulan berahi
berusaha tertawa dalam mimpi burukku. Malam yang panjang sepanjang ingatan
kelamku. Aku benar-benar lupa dan terlupa oleh apa yang terjadi. Benar-benar
ingatan yang buruk untuk gadis seusiaku.
Saat terbangun. Aku berharap tak ada
yang terjadi sebelumnya. Saman tampak tersenyum menyapaku. Kepalaku terlalu
sakit untuk mengingat kembali apa yang terjadi. Kardiganku entah kemana.
Pakaianku?
Pemuda jahat! Mulai detik ini, aku mulai
membencinya, entah ia atau siapapun itu yang berusaha masuk dan memecahkan
gelasku. Hari yang tak pernah kuinginkan.
“Apa judulmu?” bentak lelaki berdasi
dengan kemeja putihnya.
Aku tersontak kaget, jantungku masih
ketakutan mengenang kembali apa yang terjadi.
“Waktu anda satu menit lagi dari
sekarang. Jika tetap diam, maka terpaksa sidang ini kami tutup.” Ancam salah
satu dosen.
Aku kembali ketakutan mendengar ancaman mereka. Akhirnya aku
memberanikan diri.
"Janda kampus … ” Setelah lama
berkelit, akhirnya dua kecup bibir ini mengeluarkan kata yang memuakkan itu.
“Coba kamu uraikan sedikit deskripsi
tentang judulmu itu!” Dengan nada nyaring yang meremehkan.
“Begini Ibu dan Bapak …” Aku
berusaha menarik napas dalam-dalam.
“… sebenarnya banyak sekali gadis
yang berkedok janda di kampus kita yang tercinta ini. Mereka terlihat seperti gadis
biasanya, seorang mahasiswi dengan pakaian yang tertutup, tapi sebenarnya …” Aku
kembali memikirkan apa yang kukatakan.
Wanita yang memakai baju senada
dengan bibir merahnya mulai mengernyutkan dahinya. Ia tampak menyimak baik-baik
apa yang aku katakan.
“Saudari Mala, cepat lanjutkan!” celetuk lelaki paruh baya yang berusaha membetulkan kaca matanya.
“Maaf Pak. Baik saya akan
melanjutkannya. Begini Bapak dan Ibu. Pergaulan bebas yang marak terjadi di
kalangan mahasiswa ini terjadi diakibatkan pengaruh lingkungan sekitarnya …” Aku
berusaha menjelaskan dengan lancar dan tenang.
Suasana ruangan mulai memanas dengan apa yang aku paparkan. Aku menjelaskan bagaimana pergaulan bebas itu- lingkungan, seks, obat-obatan, ekonomi, dan semua hal yang terlibat di dalamnya. Mereka mulai tertarik dengan apa yang aku paparkan. Tapi, aku kembali terdiam di pertanyaan berikutnya.
“Dari mana Anda mendapatkan ide untuk mengambil judul ini?” Tanya lelaki berdasi dengan wajah yang sangat penasaran.
Suasana ruangan kembali hening. Aku berusaha berpikir dengan keras, apa yang harus kukatakan. Aku kembali memikirkan Saman. Aku akan menyebut namanya? Tidak akan!
“Saudari Mala…” Bentak wanita itu.
“Hmm… Saya mendapatkan ide ini
dari…” Aku kembali menjawab dengan terbata-bata.
“Dari mana Mala?” lelaki itu
bertanya dengan lembut, berusaha menenangkanku.
Aku kembali duduk termenung. Sebenarnya, mudah bagiku untuk mengatakan bahwa aku mendapatkan ide itu dari hasil browsing di internet. Dengan maraknya pergaulan bebas di antara mahasiswa dapat dipastikan bahwa setengah persen tidak lagi gadis. Mereka masih bisa berkeliaran dengan status janda mereka. Siapa yang melarang? Tapi, bibir ini terlalu kelu untuk mengatakannya, hati ini terus meronta mengingat kejadian silam.
Aku kembali duduk termenung. Sebenarnya, mudah bagiku untuk mengatakan bahwa aku mendapatkan ide itu dari hasil browsing di internet. Dengan maraknya pergaulan bebas di antara mahasiswa dapat dipastikan bahwa setengah persen tidak lagi gadis. Mereka masih bisa berkeliaran dengan status janda mereka. Siapa yang melarang? Tapi, bibir ini terlalu kelu untuk mengatakannya, hati ini terus meronta mengingat kejadian silam.
Tanganku kembali berkeringat, aku tak tahu apa yang harus kukatakan, kejadian itu terlalu menusuk hati ini untuk mengingat segalanya. Wajah-wajah tak sabaran mulai hadir di depanku. Mereka mulai gusar menunggu jawaban dariku.
Tepat di bingkai jendela itu. Aku menatap bola mata yang kukenal, rambutnya yang gondrong dan brewokan tampak menyembul dari sana. Dia datang! Pemuda yang kulupakan.
“Saudari Mala…!” tukas lelaki berkacamata.
“Sepertinya, sidang ini harus kita
tutup..” jawab wanita itu kembali memanaskan suasana.
“Aku mengenal seorang janda di
kampus dan dia bercerita banyak padaku” jawabku cepat.
Sidang ditutup. Judulku- entahlah diterima atau tidak. Mata liar itu terus menatapku. Aku menatap berang padanya.
AKU BUKAN JANDA. Jawabku dalam hati.
***
*Lien, nama pena dari Lina Sundana. Lien merupakan gadis Aceh.
Sumber lomba seleksimi (Seleksi Mahasiswa Seni) tingkat Unsyiah, juara 2.
facebook: Lina Sundana
twitter dan instagram : @Lsundana
blog : kitabpelupa(dot)blogspot(dot)com