Karya Erdidik
alkisah di taman kenangan
berbukit rumput ilalang, tinggi tak berjamah
pinggirannya jurang siap menengadah
Puan duduk tenang
di sampingnya keranjang rotan, bekal makanan
sedari tadi peluknya melingkar kaki
duduk memagut sepi
memandang segala hampar di pikiran
—itu miliknya sendiri
awan
mengabulkan hujan
bertemu
jatuh
mendesir
bernyanyi bersama putri pelangi
angin
mengoyak-koyak ranting, daun memagut-angguk
menari-melambai,
menari melambai
tanah
bertemu rindu rintik: berpeluk air
mengaduk-bujuk
alirnya. turun
mencipta
sungai-sungai kecil
menuju
laut dan membuai ke awan lagi
terus
demikian
hujan
adalah hal yang patuh, jika dapat dikatakan benda
di mana ia disuruh, di sana
ia jatuh
iya, Puan banyak belajar dari hujan
jatuh perlu berulang
tentang Tuan yang tak tahu kapan kembali
seperti hujan yang tak tahu kiranya kapan berhenti
lukanya kini membentuk lingkaran
luka yang tidak bermula dan berakhir
luka yang hanya tahu untuk melukai
luka yang tidak ingin disembuhkan
luka yang tidak mengenal kata akhir
“Tuan,
taman ini tetap sama. Bunga-bunganya masih sama. Susunan kursi-meja masih ada.
Tak ada yang berbeda. Hanya satu yang berbeda, disini tak ada lagi kita. Ya,
aku selalu mengajarkan kamu untuk tidak menangis, karena menangis adalah
kesalahan. Barangkali aku harus salah untuk kali ini. Aku ingin, ketika kamu
kembali, bawa pergi kenangan semua ini”
itu kalimah-kalimah terakhir Puan
Setelahnya ia berlari ke tepian taman kenangan
Terbang: hilang
-Meja
kopi, 2013
Erdidik merupakan Mahasiswa PBSI Unsyiah angkatan 2009.
0 komentar:
Posting Komentar