Rabu, 16 Oktober 2013

BURUNG-BURUNG SENJA

Hendra Kasmi

Di bawah sinar rembulan, tampak bayangan seorang lelaki dengan seraut wajah rupawan, roman wajah yang terlalu sempurna untuk seorang perjaka. Tapi, raut wajah itu terlihat murung. Tak seperti biasanya raut wajah lelaki yang bernama Sanusi itu muram seperti ini. Ada sesuatu yang mengganjal kepalanya. Pikirannya terus menerawang menembus angkasa. Dia seperti menyesali nasibnya.

Mengapa cinta harus diukur dari status sosial? Mengapa cinta tak harus lahir dari nurani yang suci? Ah, seandainya nasibku tak begini! Batinnya.

Senja itu dia duduk di atas jembatan tua dengan Cut Ida, gadis berparas jelita dan mulus kulitnya. Alis hitam meliuk di atas sepasang bola mata bening dan bibir yang penuh sensasi menghiasi wajah mungilnya. Mahkota hitam yang dibiarkan terurai serupa ukiran indah yang tak ternilai, yang dapat memikat siapa saja yang melihatnya. Namun, tubuh yang menawan itu jauh berbeda dengan jiwanya yang resah. Sangkar kebangsawanan telah mengekang batinnya.

“Semalam, Abu dan bundaku merundingkan pernikahanku dengan Hafiz, anak pengusaha itu,” Ida membuka pembicaraan. “Aku betul-betul tersiksa, San! Aku ingin lepas dari sistem feodalisme yang telah mengikat batin ini!”

Gemericik air sungai bagaikan irama nyanyian sendu. Suara Ida semakin pilu untuk hati yang terlanjur membeku.

“Eh, ngomong-ngomong, apa Ida mau menerima lamaran Hafiz?” tanya Sanusi. Gadis jelita itu tertunduk lesu. Sanusi menyesali ucapannya. Kenapa aku menanyakan hal yang membuat hatinya semakin bingung?

Tak terasa malam pun semakin larut, Sanusi beranjak tidur dengan menyimpan sejuta kisah yang masih berkelanjutan.

***

Siang itu udara sangat panas. Namun, tidak membuat paraguru dan siswa di SDN Kuala Lama menyerah, tapi justru membuat mereka semakin bersemangat. Demikian pula dengan Sanusi yang sedang asyik mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, wajahnya ceriaseakan-akan tak ada masalah apa pun.

Mobil Escudo itu terus melaju hingga memasuki areal sekolah. Seorang lelaki berjas hitam dan bertampang macho turun dari mobil. Hafiz, anak saudagar kain ternama di kota Meulaboh itu menjumpai piket untuk menanyakan Sanusi.

Singkat cerita Sanusi ke luar menjumpai Hafiz. Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri, Sanusi mengajak Hafiz ke kantin.

“Kau kan sudah pasti menjadi suami Ida, untuk apa kau menemuiku lagi?”.

“Justru itu San, aku menemuimu untuk memberitahukan bahwa aku sebenarnya tidak mencintai Ida! Sistem Siti Nurbayalah yang telah memaksa keadaan ini.”

Sanusi tersentak bagai disambar petir. “Benarkah!? Tapi walaupun aku mencintainya dapat dipastikan tak sampai kepelaminan karena orang tuanya tak akan setuju,” ujarnya.

“Aku ada usul San!” Hafiz membisikkan sesuatu ke telinga Sanusi.” Kau bawa lari saja Ida, lambat laun orang tuanya pasti akan setuju.”

“Aku tak berani!”

‘San! Aku akan membantumu karena aku melihat ketulusan cintamu terhadap Ida. Tenang San! Aku akan membantumu kemana saja kau bawa lari Ida sampai selamat” Hafiz mengenggam tangan Sanusi untuk menyatakan keseriusannya”Ingat San! Cinta sejati tumbuh dan bersemi dengan sendirinya, bukan dilihat dari perbedaan etnik” Sanusi tersenyum pertanda setuju.

Sanusi adalah orang jawa yang berstatus transmigan di Aceh dan berprofesi sebagai seorang guru di SDN Kuala Lama. Hingga hatinya terpikat pada Cut Ida, anak sorang bangsawan yang cantik jelita. Namun, hal itu sangat ditentang oleh Teuku Mu’alem, Ayah Ida. Karena transmigran sangat rendah statusnya di mata bangsawan Aceh. Oleh karena itu, Sanusi sangat beruntung bila ada putra Aceh seperti Hafiz yang sangat perhatian padanya.

Menjelang senja, sepasang elang pulang ke sarangnya setelah seharian menjelajah jagad raya. Tubuhnya yang mungil bermandikan sinar keperakan mentari senja. Sesekali burung itu berkicau megah seakan-akan hendak memberitahukan kepada manusia betapa indahnya sebuah kebebasan. Pemandangan tersebut betul-betul membuat iri hati Sanusi dan Ida.

“Ida kepingin sekali kayak burung itu yang terbang bebas tanpa ada sesuatu yang mengikatnya!”.

“Kalau aku kepingin jadi nyamuk saja toh, supaya cepat mati”.

“Kau tak pantas jadi nyamuk, kau pantasnya jadi monyet saja”.

“Eh, ngeledek ya! Awas ya!” Sanusi segera mencubit lengan Ida, gadis itu menjerit. Sejenak mereka melupakan kegundahan dan ditelan luapan kegembiraan.

“Da! Kemarin aku bertemu dengan Hafiz. Dia memberitahkan kepadaku bahwa dia tak mencintaimu, benarkah?”.

“Iya, bahkan akupun tak mencintainya!”.

“Bagus! Tapi walaupun aku satu-satunya pujaan hatiku tapi tetap orang tuamu tak akan setuju. Namun, demi cinta sejati kita maukah kau melakukan sesuatu?”.

“Aku siap melakukan segalanya, emangnya apa yang harus aku lakukan?”.

“ Sedikit merepotkan, kita keluar dari kampung ini!”.

Ida tersentak, dia sudah terlanjur mengucapkan ikrarnya. Raut wajah mungil itu pucat. Sulit untuk menentukan perasaannya. Tapi, beberapa saat kemudian dan diluar dugaan Ida menyatakan keputusannya.

“Aku akan ikut denganmu kemanakan kau pergi! Karena aku ingin memberontak dari adat yang sudah kadaluarsa ini.” Ujar Ida dengan tersenyum. Yah, sebuah senyum dari ketetapan hati yang tidak dapat ditawar lagi. Senyum untuk sebuah kebebasan. Juga senyum sebagai tanda ketulusan cintanya kepada Sanusi.

Malam itu cuaca sangat dingin, di langit tak ada satupun bintang yang bersinar. Mobil Escudo itu sudah lama menanti di seberang jalan yang berhadapan dengan rumah Teuku Mu’alem. Yah, rumah termegah di Kampung Kuala Lama. Di dalam mobil itu ada dua orang yang duduk di belakang kemudi yang tak lain adalah Sanusi dan Kemal, utusan Hafiz karena dia berhalangan hadir.

Sejak tadi Sanusi kelihatan gelisah. Betapa tidak sudah beberapa kali dia mengontak Ida. Namun, jawabannya selalu sibuk dan di luar jangkauan. Apakah dia ingin membatalkannya ataukah rencananya bocor? Saking cemasnya hingga rokok yang sedang dihisapnya terasa pahit. Apalagi rumah megah itu sejak tadi ramai dan terang-benderang. Sehingga jika terus berlama-lama disitu tentu bisa menimbulkan kecurigaan. Namun kegelisahan itu segera sirna ketika ia melihat sesosok wanita berkerudung mendekati mobil. Sanusi tergesa-gesa membuka pintu. Setelah Ida naik, mobil itu langsung tancap gas meninggalkan tempat menyebalkan itu.

“Eh, ngomong-ngomong kita mau kemana?” Ida membuka pembicaraan.

“Itu nanti kita pikirkan, yang penting kita bisa kabur dari kampung ini dulu. Ada apa rame-rame di rumahmu?” Sanusi segera mengalihkan pembicaraan pda masalah lain.

“Mereka sedang mengadakan rapat, membahas rencana pernikahanku tanpa melibatkan aku. Karena orang tuaku lagi sibuk sehingga kesempatan untuk kabur tersedia cukup banyak”.

“Encer juga otak kekasihku ini. Betul sekali, yang menikah kan mereka, untuk apa kau berlama-lama disitu”.

Kemal dan Ida tertawa geli mendengar guyonan Sanusi. Mobil itu terus melaju menembus kegelapan malam. Jam menunjukkan pukul 23.37 Wib, Jalanan sudah sepi ketika mobil itu memasuki kota Meulaboh. Sanusi dan Ida tertidur. Tiba-tiba Kemal yang sedang menyetil mobil terkejut ketika melihat beberapa orang yang berpakaian hitam sedang berdiri di tengah jalan.

“Astaga, ada razia!” Kemal langsung membangunkan Sanusi dan Ida. Sebenarnya Kemal ingin mengubah arah mobilnya tetapi hal itu diurungkannya karena beberapa orang tadi sudah meliriknya. Seorang bertubuh tegap langsung menyetop. Di lengan bajunya terpampang atribut bertuliskan:”Wilayatul Hisbah”. Dia langsung memeriksa kelengkapan surat mobil dan KTP. Karena merasa sudah beres, dia mempersilahkan mereka untuk melanjutkan perjalanan. Ketiga orang itu pun merasa lega

“Stop!” Seseorang bertubuh gemuk dan berjenggot langsung menghentikan laju mobil.”Kemana malam-malam begini! Mana surat nikah kalian?”.

“Pak, surat nikah jelas di rumah dong! Mana mungkin dibawa-bawa” Ujar Sanusi

“Kau jangan keliru! Surat nikah harus dibawa kemanapun pergi untuk menunjukkan bukti suami-istri. Atau jangan-jangan kalian bukan suami istri ya! Kau bisa dianggap sedang membawa pelacur”. Kata-kata itu bagaikan pisau silet yang menusuk kuping Sanusi.

“Karena tak dapat menunjukkan surat nikah, kalian harus ikut kami ke kantor. Dan kalianakan dibebaskan ketika orang tua kalian tiba”.

Sanusi dan Ida terkejut. Permasalahannya akan semakin panjang jika saja Kemal tidak turun dan berbicara empat mata dengan Pak Gemuk. Beberapa saat kemudian, Kemal terlihatmenyalami Pak Gemuk dengan ramah sebelum kembali menyetir mobil. Kemal segera memutar haluan untuk kembali ke Kuala Lama dan membatalkan perjalanan semula. Sanusi dan Ida merasa lega dan memuji kehebatan Kemal.

“Apa yang kau omongin sama bapak itu, Mal?” tanya Sanusi.

“Ada aja, memang kadang-kadang omongan Mas Kemal ini bisa menjinakkan orang galak”. Sanusi dan Ida tersenyum geli mendengar ucapan Kemal. Mobil itupun terus melaju menembus kegelapan malam.

Sesampai di Kuala Lama, mereka terkejut ketika melihat rumah Teuku Mu’alem semakin ramai dan hiruk-pikuk. Ida turun dengan tergesa-gesa dan cemas. Sanusi juga ingin turun, namun cepat-cepat dicegah oleh Kemal. Lalu Kemal pun mempercepat laju kendaraannya.

“San! ada berita bagus. Tadi Hafiz barusan nelpon, dia menyuruhku untuk memberitahukan kepadamu bahwa dia baru saja membekuk komplotan pengedar ganja. Termasuk didalamnya Teuku Mu’alem. Mereka sengaja menangkap beliau disaat konsentrasi beliau pecah ketika memikirkan Ida. Karena beliau dikenal sebagai orang yang paling pandai berkelit dari masalah. Penangkapan itu sudah lama direncanakan dan tak akan berhasil tanpa bantuanmu. Oleh karena itu Hafiz sangat berterima kasih sekali kepadamu. Perlu kau ketahui bahwa Hafiz adalah seorang intel dan menyamar sebagai seorang pengusaha”.

Sanusi sungguh terkesima mendengar ucapan Kemal. Mungkinkan seseorang yang terhormat seperti Teuku Mu’alem bisa mengedarkan ganja? Mengapa Hafiz tidak memberitahukan rencananya kepadaku? Ternyata, semua yang dilakukan Hafiz itu mempunyai maksud tertentu.


“Aku sangat bangga dengan Hafiz dan rencananya yang mantap. Dia pantas dianggap sebagai seorang pahlawan”. Ucapan Kemal itu membuat hati Sanusi semakin panas. Yah, pahlawan yang telah menjebak kami ke lembah aib, pahlawan yang hampir membuat kami ditahan di kantor WH, juga pahlawan yang harus membayar mahal cinta sejati!

“Cepat sedikit kau nyetir, aku kepingin cepat-cepat melihat kehebatan seorang pahlawan” ujar Sanusi dengan nada tertahan. Kemal menjadi bingung. Dia tak mampu mencerna ucapan Sanusi seperti jalan yang semakin kabur ditelan kegelapan malam.

Untuk kesekian kalinya, Ida berada di jembatan tua dikala senja menjelang. Namun, kali ini ada sesuatu yang janggal yaitu kehadirannya kali ini tanpa ditemani oleh Sanusi. Hanya sepucuk surat yang dia terima. Sepucuk surat yang mewakili seluruh isi hati sang pujaan. Lalu dia membuka surat itu dan membacanya:

To : Cut Ida
In : Kuala Lama
Assalammualaikum!

Salam mesra buat gadis centilku semoga selalu dalam keadaan walafiat.

Ida, Sudah hampir setahun kita menjalin cinta. Nostalgia indah,kesal maupun pilu aalah bagian dari hari-hari yang telah kita lalui dan tak mungkin terulang kembali, hingga hampir mengantarkan kita pada ikrar cinta sesungguhnya. Namun, mungkin hal itu akan segera sirna, karena tangan beringas ini telah mencabik-cabik keangkuhannya. Bahkan hampir saja merenggut nyawanya. Namun hal itu tak sampai kulakukan, aku biarkan sedikit sisa-sisa hidupnya agar kelak dia mengerti bahwa cinta sejati adalah cinta yang terlalu mahal, cinta yang tak dapat dipermainkan dengan uang maupun jabatan.

Kita yang hampir tercampak ke limbah aib harus lebih dulu sadar bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang mutlak dan jalan pintas yang ingin kita jalani bukanlah hal yng tepat. Kita juga berharap semoga Abu mu juga akan berpikir seribu kali tentang resikonya bila terus mempertahankan jeruji silsilahnya dan kita juga berharap semoga beliau kedepan tak lagi melakoni usaha haram.

Ida, Aku tak tahu kapan kita akan bersua kembali, dua tahun lagi, tujuh tahun lagi, ataukah juga kita tak akan bersua kembali, entahlah….! karena kau tau sendiri kan apa hukumannya untuk seorang yang telah melecehkan pahlawan. Biarkan saja orang-orang mengatakan bahwa aku terlalu nekad atau sinting, biarkan saja, yang jelas aku telah puas!

Ida, Aku hanya berpesan padamu, jagalah dirimu baik-baik! Jika kau rindu padaku, pergilah ke tempat biasanya kita bertemu dan bercandalah sepuasnya dengan bayangan diriku sambil mendengar gemericik air sebagai senandung alam. Sesekali, lihatlah sepasang elang yang terbang nun jauh di angkasa. Yah, elang yang pernah mengajarkan kita tentang kebebasan. Tapi mereka selalu lupa mengatakan bahwa kebebasan bukanlah segala-galanya.

Untuk sementara sampai disini dulu, aku tunggu balasan darimu!

Kekasihmu

Sanusi

Ida menutup surat sambil menunduk lesu, seraut wajah anggun yang biasanya merekah kini memerah. Rona wajah yang terlalu dini menyimpan duka, terlalu belia ia merasakan semua kejadin ini. Tak terasa air matanya berlinang membahasi pipi. Entah air mata haru, sedih ataupun bahagia. Yang jelas bukan lagi air mata keresahan yang telah mengekang dirinya selama bertahun-tahun


0 komentar:

Posting Komentar