Rabu, 19 Maret 2014

Aton



karya Siti Noviya R


Kota Banda Raya berdebu. Sore hari. Beberapa bercak merah menempel di dinding rumah. Baru saja terjadi pembunuhan, sepertinya. Bocah-bocah dengan raut wajah tanpa dosa berkeliaran di sekitar rumah. Sore di sini masih biasa, seperti lazimnya dilakukan orang di tempat lain. Ibu-ibu yang ikut berlarian mengejar anak mereka dengan sepiring nasi di tangan kiri dan si anak yang juga sibuk dengan langkah kecil mereka. Berlagak tak terjadi apa-apa.

Aku baru saja menamatkan novel yang kubaca sejak seminggu lalu. Saat tiba-tiba pintu kamar kosku diketuk seseorang. Aton, teman kampusku. Dia mengajakku menemaninya pergi ke terminal bus di kota untuk mengambil barang kiriman dari Ayahnya. Dan segera saja aku setuju, karena juga tak ada yang mesti aku lakukan lagi di kosku sore ini.

Dulunya, Aton tak pernah punya cerita untuk dibagi. Dia pendiam dan misterius. Yang aku tahu tentang kawanku ini adalah Bahwa dia anak perempuan satu-satunya di keluarganya, mempunyai satu orang abang, ayah-ibunya bercerai sebab si ayah punya istri lagi, dan beberapa bulan yang lalu, ibunya meninggal. Ayah Aton tinggal di kota yang berbeda, sedangkan dia tinggal di sebuah rumah milik almarhum ibunya bersama abangnya.

Akhir-akhir ini, kukira ada yang berubah dari Aton. Dia mulai banyak bicara khususnya tentang bagaimana ia menjalani hidup bersama abangnya. Dia seperti mendendam abangnya yang katanya arogan, angkuh, sok mengatur, merasa selalu benar, merasa paling dewasa, dan sok tua itu.

Seperti pada satu malam, malam minggu tepatnya. Abangnya keluar rumah sekitar pukul delapan malam dan baru pulang menjelang pukul dua subuh. Saat tiba di rumah, dia mengetuk pintu kamar Aton dan menyuruhnya untuk bangun, ada yang ingin dibicarakan abangnya. Aton bangun dan membuka pintu kamarnya. Padahal dia baru saja pulas lima belas menit yang lalu. Awalnya abangnya bertanya perihal pintu rumah yang tak Aton kunci. Lalu berdasarkan ceritanya, abang memarahi aton hingga tak ada celah baginya membela diri.

Padahal aton sengaja tidak mengunci pintu malam itu, sebab abangnya belum juga pulang dan itu adalah satu-satunya kunci di rumahnya, berharap jika abangnya pulang tak perlu membangunkannya lagi. Lagipula, abangnya itu bukan contoh yang baik, dia tak pernah mengizinkan Aton pulang telat. Sebelum magrib, wajah Aton yang susah itu harus sudah bertengger di rumah. Dan bagaimana dengan malam itu?

“Apapun alasannya, dia tiba di rumah pukul dua subuh, dan pulang-pulang memarahiku habis-habisan, abang macam apa dia? Nasib baik kalau dia hanya pulang dengan wajah berdosanya oleh karena terlambat tiba di rumah. Mungkin situasinya tidak teralu buruk. Bukan dengan memarahiku soal pintu yang tak kukunci,” kisah aton. Dan malam berikutnya, Aton meminta untuk tidur di kosku, karena dia masih tak bersahabat dengan abangnya yang di rumah itu. Aku tak mengizinkan, sebab menurutku, mungkin masalahnya akan lebih runyam jika aku izinkan dia menginap. Lalu, Karena aton memohon dengan amat sangat, apa boleh buat, baiklah untuk malam ini saja.

Dan malam itu. Aton kembali bercerita tentang abangnya yang berulah lagi. Sepertinya Aton benar-benar muak dengan sikap abangnya yang ‘tak jelas’ itu. Bahkan dia pernah berniat ingin membunuh abangnya yang mirip psikopat itu. Dan aku yang mendengar kalimat itu seperti, inikah aton? Sadarkah dia? Dan kami akhiri malam itu dengan cerita aton yang ingin mengakhiri hidup abang kandungnya sendiri. Lalu kami tidur. Saat hendak berangkat ke kampus, abang aton muncul di halaman kos ku dan memintaku untuk menyuruh aton keluar. “kacau”, batinku. Dan setelah keduanya bertatap muka, adu mulut tak terelakkan. Sama-sama mengaku dan merasa benar. Aku jadi lupa tentang apa yang harus aku lakukan, melerai mereka.

Dan mereka menjadi semakin tak terkendali. Sang abang menarik adiknya untuk memaksa pulang ke rumah, tetapi si adik enggan. Dan tiba-tiba Aton melepas tarikan tangan abangnya dan masuk ke dalam kosku, lalu keluar lagi dengan sebilah pisau dapur di tangannya. Kami, abang aton dan aku terkesiap. Apa yang ada di pikiran bocah ini, pikirku. Lalu abangnya mencoba meraih tangan Aton dengan maksud merampas pisau tersebut. Tetapi Aton sudah terlalu siap dengan kuda-kudanya, dan berhasil menangkis tangan abangnya. Pisau masih di pihak Aton. Satu dua tetangga pun mulai berdatangan karena peristiwa yang mencuri perhatian ini. Aku segera sadar dari posisiku yang mematung melihat fenomena abang dan adik ini.

Aku mulai berjalan pelan ke arah belakang aton, lalu kurenggut pisau itu dari tangan aton. Dia terbelalak seperti tak percaya dengan yang aku lakukan. Tak apa kukira, aku juga tak bisa percaya dengan yang dia lakukan saat itu. Impas, menurutku. Aku membujuk keduanya untuk membicarakan hal ini baik-baik. Abangnya terlihat setuju dengan usulku. Dan Aton, terlanjur dirasuki iblis dengan tampangnya yang semakin beringas diambilnya batu besar yang teronggok di depan kamarku lalu dihantam ke kepala abangnya yang sedang memencet tombol handphone, berniat menelpon ayah mereka. Abangnya tersungkur dengan darah segar mengalir dari kepalanya.


Dinding kosku berlumuran warna segar. Seketika tempat ini dikerumuni tetangga-tetangga. Dan aku seperti, aku menyerah. Dan menjadi percaya dengan apa yang kulihat. Perlahan aku berjalan mundur. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Emp.. aku tersandung batu dan GUBRAKK!! Aku terjatuh dari kasurku. Spontan kulihat ke sekeliling, lalu keluar kamar dengan rupa gelagapan. Tak ada Aton. Tak ada abang yang arogan. Tak ada pintu yang lupa dikunci. Tak ada bercak darah. Tak ada batu besar. Tak ada pembunuhan. Yang ada hanya ibu-ibu dengan beberapa anak yang berlarian di sekitar kosku. Ya, sore disini masih biasa. Dan memang tak terjadi apa-apa, itu hanya bercak merah bekas pekerjaan anak ibu kos mengecat pagar rumah. Sial. Khayal sialan!

Siti Noviya R  adalah siswa kelas cerpen di Komunitas Jeuneurob 

0 komentar:

Posting Komentar