Karya Muhadzdzier M. Salda
Entah kenapa
setiap hujan tiba, perempuan setengah abad itu akan berdiri di jendela rumah
panggungnya berlama lama menatap rintik hujan yang membasahi setiap jengkal
tanah. Ia akan mencium bau tanah yang menyengat dibasahi hujan. Perempuan itu
akan berdiri di jendela sampai hujan reda. Begitu terjadi saat hujan tiba. Aku
sering melihatnya berkali kali atau setelah lebih setahun aku tinggal di rumah
kontrakan ini. Kerap kali kulihat perempuan itu akan menatap rintik hujan
dengan wajahnya yang muram. Mulutnya sekali kali berkomat kamit seperti sedang
mengeja sesuatu. Sesekali juga kulihat ia tersenyum, seakan terlintas di
pikirannya suatu hal yang menyenangkan dan perasaan bahagia.
Sore itu hujan
sangat deras.. Aku pulang dari kantor dengan badan basah kuyup. Dingin
menyelimuti seluruh badan. Sudah menjadi kebiasaan setiap waktu hujan kala sore
tiba, aku sengaja pulang dalam hujan. Sengaja berbasah basah menikmati rintik
hujan. Ini memang sudah menjadi kegemaranku mandi dalam hujan. Kubiarkan ini
terjadi bersebab sampai di rumah istriku sudah memasak air panas untuk mandi
bersih.
Sore hari
Rabu itu, lebih tepatnya sore sudah menjelang waktu Magrib. Awan mendung hitam
pekat. Aku pulang kantor dengan suasana yang lelah bukan kepalang. Seluruh
sendi otot seakan kaku, tak sanggup bergerak. Mataku lelah dan sayu menatap
layar komputer untuk membuat laporan perusahaan akhir bulan. Selepas sembahyang
Magrib malam Rabu itu, aku memilih tidak keluar rumah. Cuaca memang sedang
buruk. Suara gumuruh menggelegar dari langit arah selatan lalu ke timur. Sekali
kali petir menyambar dengan suara menggelegar. Sewaktu kecil nenekku pernah
bercerita, kala petir itu datang pertanda langit murka. Tuhan sedang mengejar
iblis yang terkutuk. Kalau suara petirnya besar ini pertanda si iblis yang
dikejar kena tepat sasaran. Entah benar adanya cerita nenekku itu. Tapi yang
pasti ketika petir dengan suara besar, aku lebih memilih duduk di dalam rumah
dan mematikan pesawat televisi serta perangkat elektronik lainya.
Malam itu
ternyata hujan benar benar turun selepas suara petir ribut lalu gemuruh riuh.
Istriku sedang tugas ke luar daerah. Karena sendiri membuat suasana benar benar
sepi. Sunyi sekali. Hujan mulai turun sangat deras. Rintik suara dari atap
rumah jelas terdengar keras. Aku sengaja mengintip lewat celah jendela kamar.
Benar adanya memang, setiap hujan tiba perempuan yang menjadi tetangga rumahku
itu akan berdiri di jendela menatap bayang hitam rintik hujan. Apa ia orang
yang mencintai hujan? Tidak. Kalaupun benar, ia akan berlari dan berbasah basah
dalam hujan. Hujan di luar masih saja deras sekali. Angin kencang mulai membuat
suasana semakin kacau. Tepat jam sembilan aku bergegas menuju ke tempat tidur.
Di luar masih hujan deras. Sekali kali petir terdengar sangat keras.
Besok pagi,
seperti biasanya aku bangun dengan memasak air hangat untuk bekal mandi pagi.
Suasana pagi yang dingin menyusup sampai ke tulang. Rasa malas untuk mandi
benar benar adanya jika ada ada air hangat. Sayup sayup dari luar kudengar
suara ramai orang-orang berkumpul di jalan kompleks perumahan. Aku membuka
jendela ruang tamu. Deg! Orang orang sedang menatap seuatu hal yang dikerumuni
orang ramai. Aku melihat kepala kompleks sedang berbicara dengan telepon
genggamnya. Lalu kulihat seorang polisi sedang berbicara dengan handy talk.
Aku keluar
dengan wajah penuh penasaran. Menerka nerka pada apa yang terjadi di tempat
kejadian itu. Dengan memakai kain sarung dan berbaju kaos, aku melangkah
perlahan dengan wajah penasaran mendekati tempat kejadian. Rasa ingin tahu akan
apa yang terjadi. Orang orang saling berbicara satu sama lain. Mereka bertanya
dengan harapan mendapat jawaban yang meyakinkan. Mataku terbelalak menatap
sesosok mayat yang tak asing bagiku. Walau dari wajahnya sudah gosong seperti
terbakar. Bukankah itu Ramulah, tetanggaku yang setiap hujan tiba akan berdiri
di jendela rumahnya menatap keluar rumah?
Orang orang
saling menatap. Ada yang diam seakan tak percaya pada apa yang terjadi. Wajahku
pucat pasi menyaksikan sosok mayat perempuan itu. Wajahnya seperti tersenyum.
Beberapa anggota polisi sibuk menyiapkan kantong jenazah. Kuberanikan diri
bertanya pada seorang penduduk. Ramulah disambar petir semalam. Itu jawaban
yang kudapat. Suami Ramulah tak ada yang tahu di mana rimbanya. Sepuluh tahun
sudah meninggalkannya. Ramulah hidup sendiri menjadi seorang janda. Mereka
tidak punya anak sama sekali. Kabar yang kudengar dari desas-desus orang orang
kampung, Ramulah kerap berdiri di jendela rumahnya kala hujan tiba. Dia
menunggu suami pulang dari rantau. Ketika pertama kali suaminya berangkat
merantau, suasana memang hujan deras. Suaminya berjanji akan pulang saat hujan
deras tiba, seperti juga saat dia pergi meninggalkannya.
Seperti
kebanyakan perempuan lain, Ramulah selalu percaya pada lelaki yang telah
menikahinya. Sekarang, tak ada seorangpun yang tahu dimana rimba sang suami.Ada
yang menyebut kabar buruk, suaminya telah masuk penjara dengan kasus perampokan
anak seorang pejabat di ibukota.Apa pun kata orang, Ramulah selalu menanti sang
suami pulang, saat hujan deras, sampai petir kemudian menjemput ajalnya.
Muhadzdzier M. Salda, murid Sekolah Menulis Dokarim, Banda Aceh.
*Sumber: Serambi Indonesia, Minggu, 11 Desember 2011.
0 komentar:
Posting Komentar