Rabu, 10 Desember 2014

Saat Hujan Turun Deras



Karya Muhadzdzier M. Salda

Entah kenapa setiap hujan tiba, perempuan setengah abad itu akan berdiri di jendela rumah panggungnya berlama lama menatap rintik hujan yang membasahi setiap jengkal tanah. Ia akan mencium bau tanah yang menyengat dibasahi hujan. Perempuan itu akan berdiri di jendela sampai hujan reda. Begitu terjadi saat hujan tiba. Aku sering melihatnya berkali kali atau setelah lebih setahun aku tinggal di rumah kontrakan ini. Kerap kali kulihat perempuan itu akan menatap rintik hujan dengan wajahnya yang muram. Mulutnya sekali kali berkomat kamit seperti sedang mengeja sesuatu. Sesekali juga kulihat ia tersenyum, seakan terlintas di pikirannya suatu hal yang menyenangkan dan perasaan bahagia.

Sore itu hujan sangat deras.. Aku pulang dari kantor dengan badan basah kuyup. Dingin menyelimuti seluruh badan. Sudah menjadi kebiasaan setiap waktu hujan kala sore tiba, aku sengaja pulang dalam hujan. Sengaja berbasah basah menikmati rintik hujan. Ini memang sudah menjadi kegemaranku mandi dalam hujan. Kubiarkan ini terjadi bersebab sampai di rumah istriku sudah memasak air panas untuk mandi bersih.


Sore hari Rabu itu, lebih tepatnya sore sudah menjelang waktu Magrib. Awan mendung hitam pekat. Aku pulang kantor dengan suasana yang lelah bukan kepalang. Seluruh sendi otot seakan kaku, tak sanggup bergerak. Mataku lelah dan sayu menatap layar komputer untuk membuat laporan perusahaan akhir bulan. Selepas sembahyang Magrib malam Rabu itu, aku memilih tidak keluar rumah. Cuaca memang sedang buruk. Suara gumuruh menggelegar dari langit arah selatan lalu ke timur. Sekali kali petir menyambar dengan suara menggelegar. Sewaktu kecil nenekku pernah bercerita, kala petir itu datang pertanda langit murka. Tuhan sedang mengejar iblis yang terkutuk. Kalau suara petirnya besar ini pertanda si iblis yang dikejar kena tepat sasaran. Entah benar adanya cerita nenekku itu. Tapi yang pasti ketika petir dengan suara besar, aku lebih memilih duduk di dalam rumah dan mematikan pesawat televisi serta perangkat elektronik lainya.

Malam itu ternyata hujan benar benar turun selepas suara petir ribut lalu gemuruh riuh. Istriku sedang tugas ke luar daerah. Karena sendiri membuat suasana benar benar sepi. Sunyi sekali. Hujan mulai turun sangat deras. Rintik suara dari atap rumah jelas terdengar keras. Aku sengaja mengintip lewat celah jendela kamar. Benar adanya memang, setiap hujan tiba perempuan yang menjadi tetangga rumahku itu akan berdiri di jendela menatap bayang hitam rintik hujan. Apa ia orang yang mencintai hujan? Tidak. Kalaupun benar, ia akan berlari dan berbasah basah dalam hujan. Hujan di luar masih saja deras sekali. Angin kencang mulai membuat suasana semakin kacau. Tepat jam sembilan aku bergegas menuju ke tempat tidur. Di luar masih hujan deras. Sekali kali petir terdengar sangat keras.

Besok pagi, seperti biasanya aku bangun dengan memasak air hangat untuk bekal mandi pagi. Suasana pagi yang dingin menyusup sampai ke tulang. Rasa malas untuk mandi benar benar adanya jika ada ada air hangat. Sayup sayup dari luar kudengar suara ramai orang-orang berkumpul di jalan kompleks perumahan. Aku membuka jendela ruang tamu. Deg! Orang orang sedang menatap seuatu hal yang dikerumuni orang ramai. Aku melihat kepala kompleks sedang berbicara dengan telepon genggamnya. Lalu kulihat seorang polisi sedang berbicara dengan handy talk.

Aku keluar dengan wajah penuh penasaran. Menerka nerka pada apa yang terjadi di tempat kejadian itu. Dengan memakai kain sarung dan berbaju kaos, aku melangkah perlahan dengan wajah penasaran mendekati tempat kejadian. Rasa ingin tahu akan apa yang terjadi. Orang orang saling berbicara satu sama lain. Mereka bertanya dengan harapan mendapat jawaban yang meyakinkan. Mataku terbelalak menatap sesosok mayat yang tak asing bagiku. Walau dari wajahnya sudah gosong seperti terbakar. Bukankah itu Ramulah, tetanggaku yang setiap hujan tiba akan berdiri di jendela rumahnya menatap keluar rumah?

Orang orang saling menatap. Ada yang diam seakan tak percaya pada apa yang terjadi. Wajahku pucat pasi menyaksikan sosok mayat perempuan itu. Wajahnya seperti tersenyum. Beberapa anggota polisi sibuk menyiapkan kantong jenazah. Kuberanikan diri bertanya pada seorang penduduk. Ramulah disambar petir semalam. Itu jawaban yang kudapat. Suami Ramulah tak ada yang tahu di mana rimbanya. Sepuluh tahun sudah meninggalkannya. Ramulah hidup sendiri menjadi seorang janda. Mereka tidak punya anak sama sekali. Kabar yang kudengar dari desas-desus orang orang kampung, Ramulah kerap berdiri di jendela rumahnya kala hujan tiba. Dia menunggu suami pulang dari rantau. Ketika pertama kali suaminya berangkat merantau, suasana memang hujan deras. Suaminya berjanji akan pulang saat hujan deras tiba, seperti juga saat dia pergi meninggalkannya.

Seperti kebanyakan perempuan lain, Ramulah selalu percaya pada lelaki yang telah menikahinya. Sekarang, tak ada seorangpun yang tahu dimana rimba sang suami.Ada yang menyebut kabar buruk, suaminya telah masuk penjara dengan kasus perampokan anak seorang pejabat di ibukota.Apa pun kata orang, Ramulah selalu menanti sang suami pulang, saat hujan deras, sampai petir kemudian menjemput ajalnya.


Muhadzdzier M. Salda, murid Sekolah Menulis Dokarim, Banda Aceh.

*Sumber: Serambi Indonesia, Minggu, 11 Desember 2011.

0 komentar:

Posting Komentar