Hendra Kasmi
Di bawah
sinar rembulan, tampak bayangan seorang lelaki dengan seraut wajah rupawan,
roman wajah yang terlalu sempurna untuk seorang perjaka. Tapi, raut wajah itu
terlihat murung. Tak seperti biasanya raut wajah lelaki yang bernama Sanusi itu
muram seperti ini. Ada sesuatu yang mengganjal kepalanya. Pikirannya terus
menerawang menembus angkasa. Dia seperti menyesali nasibnya.
Mengapa
cinta harus diukur dari status sosial? Mengapa cinta tak harus lahir dari
nurani yang suci? Ah, seandainya nasibku tak begini! Batinnya.
Senja itu
dia duduk di atas jembatan tua dengan Cut Ida, gadis berparas jelita dan mulus
kulitnya. Alis hitam meliuk di atas sepasang bola mata bening dan bibir yang
penuh sensasi menghiasi wajah mungilnya. Mahkota hitam yang dibiarkan terurai
serupa ukiran indah yang tak ternilai, yang dapat memikat siapa saja yang
melihatnya. Namun, tubuh yang menawan itu jauh berbeda dengan jiwanya yang
resah. Sangkar kebangsawanan telah mengekang batinnya.
“Semalam,
Abu dan bundaku merundingkan pernikahanku dengan Hafiz, anak pengusaha itu,”
Ida membuka pembicaraan. “Aku betul-betul tersiksa, San! Aku ingin lepas dari
sistem feodalisme yang telah mengikat batin ini!”
Gemericik
air sungai bagaikan irama nyanyian sendu. Suara Ida semakin pilu untuk hati
yang terlanjur membeku.
“Eh,
ngomong-ngomong, apa Ida mau menerima lamaran Hafiz?” tanya Sanusi. Gadis
jelita itu tertunduk lesu. Sanusi menyesali ucapannya. Kenapa aku menanyakan
hal yang membuat hatinya semakin bingung?
Tak terasa
malam pun semakin larut, Sanusi beranjak tidur dengan menyimpan sejuta kisah
yang masih berkelanjutan.
***
Siang itu
udara sangat panas. Namun, tidak membuat paraguru dan siswa di SDN Kuala Lama
menyerah, tapi justru membuat mereka semakin bersemangat. Demikian pula dengan
Sanusi yang sedang asyik mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, wajahnya
ceriaseakan-akan tak ada masalah apa pun.
Mobil Escudo
itu terus melaju hingga memasuki areal sekolah. Seorang lelaki berjas hitam dan
bertampang macho turun dari mobil. Hafiz, anak saudagar kain ternama di kota
Meulaboh itu menjumpai piket untuk menanyakan Sanusi.
Singkat
cerita Sanusi ke luar menjumpai Hafiz. Setelah bersalaman dan memperkenalkan
diri, Sanusi mengajak Hafiz ke kantin.
“Kau kan
sudah pasti menjadi suami Ida, untuk apa kau menemuiku lagi?”.
“Justru itu
San, aku menemuimu untuk memberitahukan bahwa aku sebenarnya tidak mencintai
Ida! Sistem Siti Nurbayalah yang telah memaksa keadaan ini.”
Sanusi
tersentak bagai disambar petir. “Benarkah!? Tapi walaupun aku mencintainya
dapat dipastikan tak sampai kepelaminan karena orang tuanya tak akan setuju,”
ujarnya.
“Aku ada
usul San!” Hafiz membisikkan sesuatu ke telinga Sanusi.” Kau bawa lari saja
Ida, lambat laun orang tuanya pasti akan setuju.”
“Aku tak
berani!”
‘San! Aku
akan membantumu karena aku melihat ketulusan cintamu terhadap Ida. Tenang San!
Aku akan membantumu kemana saja kau bawa lari Ida sampai selamat” Hafiz
mengenggam tangan Sanusi untuk menyatakan keseriusannya”Ingat San! Cinta sejati
tumbuh dan bersemi dengan sendirinya, bukan dilihat dari perbedaan etnik”
Sanusi tersenyum pertanda setuju.
Sanusi
adalah orang jawa yang berstatus transmigan di Aceh dan berprofesi sebagai
seorang guru di SDN Kuala Lama. Hingga hatinya terpikat pada Cut Ida, anak
sorang bangsawan yang cantik jelita. Namun, hal itu sangat ditentang oleh Teuku
Mu’alem, Ayah Ida. Karena transmigran sangat rendah statusnya di mata bangsawan
Aceh. Oleh karena itu, Sanusi sangat beruntung bila ada putra Aceh seperti
Hafiz yang sangat perhatian padanya.
Menjelang
senja, sepasang elang pulang ke sarangnya setelah seharian menjelajah jagad
raya. Tubuhnya yang mungil bermandikan sinar keperakan mentari senja. Sesekali
burung itu berkicau megah seakan-akan hendak memberitahukan kepada manusia
betapa indahnya sebuah kebebasan. Pemandangan tersebut betul-betul membuat iri
hati Sanusi dan Ida.
“Ida
kepingin sekali kayak burung itu yang terbang bebas tanpa ada sesuatu yang
mengikatnya!”.
“Kalau aku
kepingin jadi nyamuk saja toh, supaya cepat mati”.
“Kau tak
pantas jadi nyamuk, kau pantasnya jadi monyet saja”.
“Eh,
ngeledek ya! Awas ya!” Sanusi segera mencubit lengan Ida, gadis itu menjerit.
Sejenak mereka melupakan kegundahan dan ditelan luapan kegembiraan.
“Da! Kemarin
aku bertemu dengan Hafiz. Dia memberitahkan kepadaku bahwa dia tak mencintaimu,
benarkah?”.
“Iya, bahkan
akupun tak mencintainya!”.
“Bagus! Tapi
walaupun aku satu-satunya pujaan hatiku tapi tetap orang tuamu tak akan setuju.
Namun, demi cinta sejati kita maukah kau melakukan sesuatu?”.
“Aku siap
melakukan segalanya, emangnya apa yang harus aku lakukan?”.
“ Sedikit
merepotkan, kita keluar dari kampung ini!”.
Ida
tersentak, dia sudah terlanjur mengucapkan ikrarnya. Raut wajah mungil itu
pucat. Sulit untuk menentukan perasaannya. Tapi, beberapa saat kemudian dan
diluar dugaan Ida menyatakan keputusannya.
“Aku akan
ikut denganmu kemanakan kau pergi! Karena aku ingin memberontak dari adat yang
sudah kadaluarsa ini.” Ujar Ida dengan tersenyum. Yah, sebuah senyum dari
ketetapan hati yang tidak dapat ditawar lagi. Senyum untuk sebuah kebebasan.
Juga senyum sebagai tanda ketulusan cintanya kepada Sanusi.
Malam itu
cuaca sangat dingin, di langit tak ada satupun bintang yang bersinar. Mobil
Escudo itu sudah lama menanti di seberang jalan yang berhadapan dengan rumah
Teuku Mu’alem. Yah, rumah termegah di Kampung Kuala Lama. Di dalam mobil itu
ada dua orang yang duduk di belakang kemudi yang tak lain adalah Sanusi dan
Kemal, utusan Hafiz karena dia berhalangan hadir.
Sejak tadi
Sanusi kelihatan gelisah. Betapa tidak sudah beberapa kali dia mengontak Ida.
Namun, jawabannya selalu sibuk dan di luar jangkauan. Apakah dia ingin
membatalkannya ataukah rencananya bocor? Saking cemasnya hingga rokok yang
sedang dihisapnya terasa pahit. Apalagi rumah megah itu sejak tadi ramai dan
terang-benderang. Sehingga jika terus berlama-lama disitu tentu bisa menimbulkan
kecurigaan. Namun kegelisahan itu segera sirna ketika ia melihat sesosok wanita
berkerudung mendekati mobil. Sanusi tergesa-gesa membuka pintu. Setelah Ida
naik, mobil itu langsung tancap gas meninggalkan tempat menyebalkan itu.
“Eh,
ngomong-ngomong kita mau kemana?” Ida membuka pembicaraan.
“Itu nanti
kita pikirkan, yang penting kita bisa kabur dari kampung ini dulu. Ada apa
rame-rame di rumahmu?” Sanusi segera mengalihkan pembicaraan pda masalah lain.
“Mereka
sedang mengadakan rapat, membahas rencana pernikahanku tanpa melibatkan aku.
Karena orang tuaku lagi sibuk sehingga kesempatan untuk kabur tersedia cukup
banyak”.
“Encer juga
otak kekasihku ini. Betul sekali, yang menikah kan mereka, untuk apa kau
berlama-lama disitu”.
Kemal dan
Ida tertawa geli mendengar guyonan Sanusi. Mobil itu terus melaju menembus
kegelapan malam. Jam menunjukkan pukul 23.37 Wib, Jalanan sudah sepi ketika
mobil itu memasuki kota Meulaboh. Sanusi dan Ida tertidur. Tiba-tiba Kemal yang
sedang menyetil mobil terkejut ketika melihat beberapa orang yang berpakaian
hitam sedang berdiri di tengah jalan.
“Astaga, ada
razia!” Kemal langsung membangunkan Sanusi dan Ida. Sebenarnya Kemal ingin
mengubah arah mobilnya tetapi hal itu diurungkannya karena beberapa orang tadi
sudah meliriknya. Seorang bertubuh tegap langsung menyetop. Di lengan bajunya
terpampang atribut bertuliskan:”Wilayatul Hisbah”. Dia langsung memeriksa
kelengkapan surat mobil dan KTP. Karena merasa sudah beres, dia mempersilahkan
mereka untuk melanjutkan perjalanan. Ketiga orang itu pun merasa lega
“Stop!”
Seseorang bertubuh gemuk dan berjenggot langsung menghentikan laju
mobil.”Kemana malam-malam begini! Mana surat nikah kalian?”.
“Pak, surat
nikah jelas di rumah dong! Mana mungkin dibawa-bawa” Ujar Sanusi
“Kau jangan
keliru! Surat nikah harus dibawa kemanapun pergi untuk menunjukkan bukti
suami-istri. Atau jangan-jangan kalian bukan suami istri ya! Kau bisa dianggap
sedang membawa pelacur”. Kata-kata itu bagaikan pisau silet yang menusuk kuping
Sanusi.
“Karena tak
dapat menunjukkan surat nikah, kalian harus ikut kami ke kantor. Dan kalianakan
dibebaskan ketika orang tua kalian tiba”.
Sanusi dan
Ida terkejut. Permasalahannya akan semakin panjang jika saja Kemal tidak turun
dan berbicara empat mata dengan Pak Gemuk. Beberapa saat kemudian, Kemal
terlihatmenyalami Pak Gemuk dengan ramah sebelum kembali menyetir mobil. Kemal
segera memutar haluan untuk kembali ke Kuala Lama dan membatalkan perjalanan
semula. Sanusi dan Ida merasa lega dan memuji kehebatan Kemal.
“Apa yang
kau omongin sama bapak itu, Mal?” tanya Sanusi.
“Ada aja,
memang kadang-kadang omongan Mas Kemal ini bisa menjinakkan orang galak”.
Sanusi dan Ida tersenyum geli mendengar ucapan Kemal. Mobil itupun terus melaju
menembus kegelapan malam.
Sesampai di
Kuala Lama, mereka terkejut ketika melihat rumah Teuku Mu’alem semakin ramai
dan hiruk-pikuk. Ida turun dengan tergesa-gesa dan cemas. Sanusi juga ingin
turun, namun cepat-cepat dicegah oleh Kemal. Lalu Kemal pun mempercepat laju
kendaraannya.
“San! ada
berita bagus. Tadi Hafiz barusan nelpon, dia menyuruhku untuk memberitahukan
kepadamu bahwa dia baru saja membekuk komplotan pengedar ganja. Termasuk
didalamnya Teuku Mu’alem. Mereka sengaja menangkap beliau disaat konsentrasi
beliau pecah ketika memikirkan Ida. Karena beliau dikenal sebagai orang yang
paling pandai berkelit dari masalah. Penangkapan itu sudah lama direncanakan
dan tak akan berhasil tanpa bantuanmu. Oleh karena itu Hafiz sangat berterima
kasih sekali kepadamu. Perlu kau ketahui bahwa Hafiz adalah seorang intel dan
menyamar sebagai seorang pengusaha”.
Sanusi
sungguh terkesima mendengar ucapan Kemal. Mungkinkan seseorang yang terhormat
seperti Teuku Mu’alem bisa mengedarkan ganja? Mengapa Hafiz tidak
memberitahukan rencananya kepadaku? Ternyata, semua yang dilakukan Hafiz itu
mempunyai maksud tertentu.
“Aku sangat
bangga dengan Hafiz dan rencananya yang mantap. Dia pantas dianggap sebagai
seorang pahlawan”. Ucapan Kemal itu membuat hati Sanusi semakin panas. Yah,
pahlawan yang telah menjebak kami ke lembah aib, pahlawan yang hampir membuat
kami ditahan di kantor WH, juga pahlawan yang harus membayar mahal cinta
sejati!
“Cepat
sedikit kau nyetir, aku kepingin cepat-cepat melihat kehebatan seorang
pahlawan” ujar Sanusi dengan nada tertahan. Kemal menjadi bingung. Dia tak
mampu mencerna ucapan Sanusi seperti jalan yang semakin kabur ditelan kegelapan
malam.
Untuk
kesekian kalinya, Ida berada di jembatan tua dikala senja menjelang. Namun,
kali ini ada sesuatu yang janggal yaitu kehadirannya kali ini tanpa ditemani
oleh Sanusi. Hanya sepucuk surat yang dia terima. Sepucuk surat yang mewakili
seluruh isi hati sang pujaan. Lalu dia membuka surat itu dan membacanya:
To : Cut Ida
In : Kuala Lama
Assalammualaikum!
Salam mesra
buat gadis centilku semoga selalu dalam keadaan walafiat.
Ida, Sudah hampir setahun kita menjalin cinta. Nostalgia
indah,kesal maupun pilu aalah bagian dari hari-hari yang telah kita lalui dan
tak mungkin terulang kembali, hingga hampir mengantarkan kita pada ikrar cinta
sesungguhnya. Namun, mungkin hal itu akan segera sirna, karena tangan beringas
ini telah mencabik-cabik keangkuhannya. Bahkan hampir saja merenggut nyawanya.
Namun hal itu tak sampai kulakukan, aku biarkan sedikit sisa-sisa hidupnya agar
kelak dia mengerti bahwa cinta sejati adalah cinta yang terlalu mahal, cinta
yang tak dapat dipermainkan dengan uang maupun jabatan.
Kita yang hampir tercampak ke limbah aib harus lebih dulu sadar
bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang mutlak dan jalan pintas yang ingin kita
jalani bukanlah hal yng tepat. Kita juga berharap semoga Abu mu juga akan berpikir
seribu kali tentang resikonya bila terus mempertahankan jeruji silsilahnya dan
kita juga berharap semoga beliau kedepan tak lagi melakoni usaha haram.
Ida, Aku tak tahu kapan kita akan bersua kembali, dua tahun lagi,
tujuh tahun lagi, ataukah juga kita tak akan bersua kembali, entahlah….! karena
kau tau sendiri kan apa hukumannya untuk seorang yang telah melecehkan
pahlawan. Biarkan saja orang-orang mengatakan bahwa aku terlalu nekad atau
sinting, biarkan saja, yang jelas aku telah puas!
Ida, Aku hanya berpesan padamu, jagalah dirimu baik-baik! Jika kau
rindu padaku, pergilah ke tempat biasanya kita bertemu dan bercandalah
sepuasnya dengan bayangan diriku sambil mendengar gemericik air sebagai
senandung alam. Sesekali, lihatlah sepasang elang yang terbang nun jauh di
angkasa. Yah, elang yang pernah mengajarkan kita tentang kebebasan. Tapi mereka
selalu lupa mengatakan bahwa kebebasan bukanlah segala-galanya.
Untuk sementara sampai disini dulu, aku tunggu balasan darimu!
Kekasihmu
Sanusi
Ida menutup
surat sambil menunduk lesu, seraut wajah anggun yang biasanya merekah kini
memerah. Rona wajah yang terlalu dini menyimpan duka, terlalu belia ia
merasakan semua kejadin ini. Tak terasa air matanya berlinang membahasi pipi.
Entah air mata haru, sedih ataupun bahagia. Yang jelas bukan lagi air mata
keresahan yang telah mengekang dirinya selama bertahun-tahun