Kamis, 25 April 2013

Pengantar Singkat untuk Rencana Pembunuhan Sultan Nurruddin


Karya Azhari
Sumber: Koran Tempo, 12 Oktober 2008

TELAH diceritakan dalam kisah yang lebih panjang, bahwa sebuah sidang sedang menunggu dengan hati berdebar apakah Sultan Nurruddin memutuskan hendak membeli sebuah batu permata bernama Mutiara Tuhan atau tidak. 

Sidang itu terdiri dari para tukang nujum yang sedang berupaya mendorong Sultan untuk memiliki permata itu, sebab dalam nubuat yang mereka terima, hanya dengan batu mulia itulah ratusan tahun kemudian Lamuri dapat diselamatkan dari pendudukan Jenderal Mata Sebelah yang muncul dari seberang lautan sebagaimana halnya nasib Negeri Khurasan yang pernah ditakbirkan Al-Hadis. 

Berdiri di samping para ahli nujum adalah seorang jauhari yang sangat berpengalaman. Jika tukang nujum mampu menghapal ratusan hadis, maka sang jauhari dikaruniai ingatan untuk mengetahui riwayat ribuan jenis permata, pun firasatnya mampu menentukan permata mana yang mengandung kutukan dan mana yang membawa keberuntungan. Limpahan kekayaan membuat sang jauhari dapat meniru apa saja yang menjadi kegemaran Sultan Nurruddin, juga dalam hal mengumpulkan batu mulia.

Bahkan tak jarang ia bersaing dengan Sultan untuk memburu permata langka yang sama, dan kenyataan ini kadangkala membuat Sultan Nurruddin sakit hati kepadanya. Tapi kalau dia disingkirkan, kepada siapakah lagi Sultan harus memastikan bahwa sebuah manikam terbebas dari kutukan?

Kali ini, pengetahuan sang jauhari kembali membuat majelis kagum sekaligus terguncang. Dia paparkan riwayat Mutiara Tuhan yang sangat panjang, yang mampu menyeret dua nabi Allah yaitu Khaidir dan Sulaiman pada sepertiga cerita. Entah karena ingin memiliki Mutiara Tuhan untuk dirinya sendiri atau karena nyawa Sultan Nurruddin lebih berharga, dia menyimpulkan di ujung ceritanya bahwa Sultan Pelindung Kaum Beriman dan Penumpas Kaum Murtadin
ini tidak pantas menyerahkan takdirnya pada batu yang penuh kutukan ini.

Tak jauh dari Sultan Nurruddin berdiri seorang perempuan dengan air muka yang tak tersangka-sangka karena cadar telah menutupi hampir seluruh wajahnya. Dialah Ainul Mardiyah, perempuan pembawa Mutiara Tuhan.

Di belakang Ainul Mardiyah berbaris sembilan laki-laki yang menyaru sebagai pengiringnya, namun sesungguhnya mereka adalah sisa terakhir anggota Persaudaraan Rahasia Kura-kura Berjanggut, musuh utama Sultan Nurruddin yang telah diselamatkan oleh Si Ujud. Dengan kutukan batu permata itu, sebagaimana pesan terakhir Si Buduk (satu dari sembilan pemimpin puncak Kura-kura Berjanggut yang telah dibinasakan oleh Sultan) mereka berencana membunuh Sultan melalui utusannya Si Ujud.

Di dalam barisan itu pula terdapat enam lelaki lainnya, utusan sebuah puak pemburu harta yang mendiami muara tersembunyi di Kepulauan Sulu. Mereka tidak ada urusan dengan segala macam rencana pembunuhan Sultan, mereka hanya menghitung seberapa banyak keuntungan yang bakal dibawa pulang andai Sultan lebih memilih saran para tukang nujum daripada sang jauhari.

Berdiri pada saf yang sama dengan para tukang nujum dan sang jauhari adalah Si Ujud. Dia termasyhur sebagai syahbandar Lamuri namun ia lebih banyak bekerja sebagai kepala mata-mata rahasia Sultan Nurruddin. Pamornya dalam menumpas persaudaraan Kura-kura Berjanggut membuat Sultan Nurruddin tak ingin menggantinya dengan orang lain sebagaimana yang lazim ia lakukan selama ini, tentu setelah terlebih dahulu membunuh semua kepala mata-mata sebelumnya.

Sesungguhnya Si Ujud sendiri sudah lama memendam dendam-kesumat untuk membunuh
Sultan. Ia hendak membunuh Sultan dengan kutukan Mutiara Tuhan, sementara kita lihat dia berdiri dekat sekali dengan junjungannya itu.

Mutiara Tuhan tidak akan datang dengan kakinya sendiri ke Lamuri dan bukan pula dengan perantara sejenis kegaiban, melainkan berkat pertemuan yang langka seorang perempuan dengan Tuhannya pada suatu hari dan peran sejenis bumbu masak kegemaran awak kapal penangkap perompak pada hari yang lain. Saya kutip lagi cerita itu, cerita yang pernah dituturkan Si Buduk kepada Si Ujud, yang kemudian diceritakan kembali oleh Si Ujud kepada persaudaraan rahasia Kura-kura Berjanggut agar komplotan itu membawa Mutiara Tuhan ke Lamuri.

Pertemuan yang Langka
BERABAD-ABAD silam, bagai ingin menandaskan kembali di hadapan umat manusia bahwa Tuhan dapat melakukan apa saja, Dia yang satu ini pergi ke Barat pada suatu pagi. Kepergian-Nya yang penuh makna itu membuka pintu takdir yang berbeda-beda bagi tiga golongan umat-Nya.

Golongan pertama adalah sebagian besar umat-Nya yang hanya menunggu kepulangan-Nya, oleh sebab Dia memang berjanji untuk kembali pada suatu hari nanti. 

Andai muara, cadas, dan beting karang di teluk itu Dia beri kemampuan bertutur, maka mereka adalah saksi yang paling terpercaya dan tua untuk mengungkapkan bagaimana sehari setelah kepergian-Nya ratusan orang berlomba-lomba mengayuh perahu mengikuti alur perahu-Nya, oleh sebab telah Dia janjikan keabadian kepada siapa saja yang dapat bertemu dengan-Nya dalam perjalanan-Nya menuju Barat. Inilah golongan kedua, mereka yang sampai sekarang dikenal sebagai para pemburu keabadian dari Timur.

Golongan ketiga adalah sebuah wangsa terpandang yang pernah menyelenggarakan sayembara menangkap burung ajaib dengan hadiah seorang perempuan rupawan. Sayembara itu sendiri mengawali kemunculan-Nya untuk pertama kali dari tempat-Nya yang gaib setelah Dia saksikan tak ada satu pun manusia yang mampu menangkap si burung. Dia muncul sebagai seorang yang buruk rupa serta lemah bagai tidak mampu menolong diri sendiri. 

Barangkali penyaruan ini mengandung maksud agar umat manusia tidak terguncang oleh wujud asli-Nya. Tapi ketika Dia berhasil menangkap si burung, wangsa yang memalukan ini sama sekali tidak takjub oleh kemampuan-Nya, melainkan terpengaruh oleh wujud lahiriah-Nya, sehingga mereka merasa adil untuk menukar taruhan si perempuan rupawan dengan seekor babi hutan.

Kepergian-Nya ke Barat barangkali tak ada hubungannya dengan sikap tak senonoh wangsa ini, namun kemudian mereka sungguh menyesali perbuatan mereka kepada-Nya dalam sayembara itu, dan mereka percaya bahwa kemuliaan mereka akan kembali tegak apabila ada salah seorang dari mereka yang dapat membujuk Dia untuk kembali pulang ke Timur. Itu sebabnya, sambil beradu keberuntungan dengan para pemburu keabadian, wangsa ini mengutus sejumlah perempuan mereka ke arah matahari tenggelam untuk membawa Dia pulang.

Oleh rangkaian takdir seperti itulah aku berjumpa dengan Ainul Mardiyah pada suatu hari di Tumasik pada waktu pertemuan tahunan Sembilan pemimpin puncak Persaudaraan Kura-kura Berjanggut. 

PERSAUDARAAN rahasia seperti Kura-kura Berjanggut yang berniat mengakhiri hidup seorang Sultan penguasa lautan tidak akan mungkin berumur panjang apabila tidak berlindung pada aturan. Menyelenggarakan pertemuan tahunan di sebuah bandar yang kotor, menghindari untuk pergi bersama dan pulang dalam waktu berbeda adalah sebagian dari aturan itu. Kupikir kepatuhan pada aturan telah menjaga aku sedemikian rupa, sehingga tidak kusadari ada seseorang yang terus mengawasiku sejak turun di pintu gerbang bandar.

Pada malam hari sebelum pertemuan, seseorang di antara kami menyelia keadaan di sekeliling penginapan dan dia melihat seorang perempuan duduk di kursi ruang tunggu. Sambil mengawasi orang-orang yang naik-turun tangga, seketika dia berprasangka bahwa perempuan itu pastilah mata-mata Sultan Nurruddin. Kami semua setuju dengannya. Kami menunggu sampai kokok ayam pertama terdengar. Lalu seseorang lain di antara kami turun ke bawah dan dia melihat hal yang sama. Malam itu juga kami putuskan untuk membatalkan pertemuan sebelum akhirnya kami keluar satu demi satu.

Aku keluar pada giliran kelima, aku ingat hari hampir terang tanah, dan dia tepat menghadangku di pintu penginapan.

“Tuan Tuhan kami!”
Bukan panggilan lirihnya yang membuatku terpukau, tapi semata-mata kejelitaannyalah.

“Tuan Tuhan kami!”
Tak mendapat tanggapanku sekali lagi dia ulang kata-kata itu dengan lebih keras. Aku lantas berpikir, bahwa Sultan Nurruddin tak kehabisan akal untuk menjebak musuh-musuhnya bahkan kalau perlu memanggil mereka sebagai tuhan. Aku telah terbiasa menghadapi kecerdikan seperti yang kuhadapi sekarang, jadi aku tidak akan menghindar.

“Ikutlah ke mana langkah Tuhan jika demikian!” Aku berpikir kalau dia percaya bahwa aku adalah Tuhannya tentu dia mau mengikuti ke mana saja aku membawanya, dengan demikian aku dapat mengulur waktu agar delapan pemimpin yang lain dapat mencapai tujuan mereka masing-masing. Kalaupun terjadi sesuatu, itu hanya akan menimpaku seorang.

Perempuan ini pasti gila. Tapi seorang perempuan gila pun terlalu menarik perhatian untuk berjalan di samping seseorang yang mengenakan jubah Arabia. Maka sebelum aku mampu menjelaskan bahwa aku bukan Tuhannya, kuminta dia untuk bertukar busana dengan setelan pengembara Arabia. Cadar coklat yang menutup wajahnya itulah yang membuat Si Ujud tidak dapat melihat rupanya yang jelita.

Lalu perlahan-lahan mulai kujelaskan bahwa aku adalah seorang pedagang dan bukan Tuhannya. Tapi dia tidak percaya. Dia tetap berkata,

“Tuan Tuhan kami.” Aku memang tidak mempunyai bakat untuk meyakinkan orang gila, tapi aku percaya orang gila pada umumnya cepat bosan terhadap sesuatu hal. Jadi aku berharap barangkali esok atau lusa dia akan pergi dari sisiku ketika telah dia lihat Tuhan pada wajah orang lain.
Semuanya di luar dugaanku.
“Tuhan, mari pulang ke Numfur.” Itulah yang terucap dari mulutnya setelah lima hari bersamanya aku hanya mendengar,
“Tuhan tuan kami.” Aku tak menjawab ajakannya melainkan bertanya,
“Kau orang Numfur?”
“Bukan, Tuhan.”
“Jadi kau dari mana?”
“Labuan.”
“Pernah tinggal di Numfur?”
“Tidak, Tuhan.”
“Bisakah kau tidak memanggilku dengan sebutan Tuhan? Kau boleh memanggilku Kadi.”
“Bisa, Tuhan.” Lantas dia mendekap mulutnya dan mungkin tidak akan dia lepaskan kalau aku tidak menarik tangannya dari sana.. 

Aku tak mungkin terus bertanya padanya. Perempuan ini hanya mau menjawab apa yang aku tanyakan, barangkali dia berpikir aku mengetahui segalanya tentang dirinya. Maka aku minta dia untuk menceritakan siapa dirinya.

Dia telah enam tahun mencari Tuhannya yang pergi pada suatu masa ketika orang belum mengenal penanggalan. Umurnya sekarang dua puluh satu. Setiap tahun dia selalu merangkak kian ke barat, singgah dari satu bandar ke bandar lain sambil bekerja sebagai apa saja untuk mempertahankan entah hidupnya entah kutukannya. Hal inilah yang membuat dia mengetahui banyak hal sekaligus mengalami banyak sekali kejadian. Dia selalu mencari orang-orang dengan kudis di tubuh karena itulah satu-satunya tanda yang ditinggalkan Tuhannya. Dari sekian banyak orang dengan penyakit kudis yang ditemuinya hanya akulah yang menurut dia bisa dipastikan sebagai Tuhannya.

Kukatakan padanya bahwa aku harus pergi sedikit lagi ke arah barat. Sebagai Tuhan ada banyak tugas yang harus kuselesaikan, baru setelah itu aku akan pulang ke Numfur bersamanya. Apa yang Tuhan katakan tentu harus dipatuhinya. Begitulah dia menerima semua ketentuan yang aku gariskan. Untuk menjaga harapannya kuberikan dia beberapa tugas yang awalnya tak lebih dari hal remeh-temeh, seperti mengawasi orang-orang yang bakal berkunjung ke Lamuri dan memasok seluruh keterangan yang menyangkut dengan Sultan Nurruddin. Sebagai Tuhan yang baik kuberikan dia nama Ainul Mardiyah dan aku berjanji untuk datang menjumpainya setahun sekali.

Persaudaraan Kura-kura Berjanggut sungguh beruntung mempunyai seorang Ainul Mardiyah di Tumasik. Tentu aku ingin mendapat lebih.. Pada tahun ketiga kuminta dia menghimpun pengikut. Pada tahun keempat, yaitu di saat kau menumpahkan bubuk hitam itu, dia sudah mampu membangun sebuah majelis yang kuat di sana.

Wahai Si Ujud, waktu kau turun di Tumasik, sebelum berganti kapal dan melanjutkan perjalanan ke Lamuri, barangkali karena tergesa-gesa kau menabrak Ainul Mardiyah, perempuan bercadar yang tak kau kenal, dan kancut buntalan di tanganmu terlepas. Berhamburlah ratusan bubuk hitam dari wadahnya. Pada perempuan yang kausenggol dan membantumu meraup kembali hablur itu kau katakan, “Inilah bumbu hitam.”

Dari apa yang kautumpahkan itu dia lalu menyusuri jejakmu dan menuliskan penyelidikannya.

Bumbu Hitam Penangkap Perompak
PEROMPAK Kastilia pernah terkecoh karena tidak dapat membedakan bumbu hitam sebagai penyedap masakan dengan nama sebuah armada penangkap perompak. Bumbu hitam sebagai bumbu masak terbuat dari campuran kelapa dan cabe yang dibakar, dan ramuan ini telah lama menjadi teman setia orang Sulu di kesunyian lautan terutama karena keawetannya. Setiap mereka pergi melaut bumbu itu pasti diajak serta, baik untuk dikudap begitu saja maupun untuk penyedap masakan. Terilhami oleh kelezatan bumbu ini, Panglima Sama Banglani si penangkap perompak Kastilia dan datu pelindung orang Sulu, memberi nama armadanya Bumbu Hitam, armada yang sangat ditakuti sekalian perompak di lautan itu, terutama perompak Kastilia.

Tapi sejak perompak Kastilia berhasil menggantung Panglima Sama Banglani di bandar Zamboanga keadaan sudah banyak berubah. Jika dulu perompak ini menjadi sasaran utama perburuan Bumbu Hitam, maka sekarang adalah kebalikannya. Orang Kastilia bersumpah untuk memburu sisa-sisa armada Bumbu Hitam sampai ke ujung dunia. Orang Sulu, pemilik bumbu hitam sejati, begitu mengetahui kematian sang pelindung yang mereka cintai dan mendengar sumpah orang Kastilia itu, serentak menumpahkan bumbu hitam ke seluruh penjuru lautan. Inilah cara mereka untuk menyelamatkan sisa armada Bumbu Hitam dengan cara mengacaukan jalur pengejaran perompak Kastilia, sehingga masa itu pada sebuah bandar atau pangkalan sering ditemukan ceceran bumbu hitam tanpa sebab yang jelas.

Tapi tahun-tahun pengacauan jalur pengejaran itu sudah lama berlalu. Bumbu hitam kembali ke tempat asalnya, yakni panci dan kuali, bersama jahe, ikan atau ayam, menjadi sop hitam yang lezat. Armada penangkap perompak itu sendiri sudah lama tidak terdengar kabar beritanya. Maka aku sungguh penasaran ketika ada seseorang yang membawa-bawa bumbu itu di dalam buntalannya. Sehingga aku merasa tergugah untuk mengusut dari mana datangnya dan ke mana tujuan si orang dagang.

Apa yang kudapatkan membuat aku berbesar hati. Jika Kadi beranggapan bahwa salah satu tujuan melawat ke Barat adalah untuk mengakhiri hidup Sultan Nurruddin, maka orang yang kuselidiki ini juga mempunyai maksud yang sama. Dia adalah Si Ujud, nakhoda salah satu eskader Bumbu Hitam. Dia bukan orang Sulu, tapi berasal dari Lamuri. Tidak perlu heran apabila awak kapal Bumbu Hitam berasal dari negeri-negeri yang jauh. Untuk menangkap perompak Kastilia, Panglima Sama Banglani membutuhkan banyak sekali ahli dan para petempur untuk mengisi ratusan eskadernya, belum lagi tukang dayung dan pembersih geladak. Dia tidak mendapatkan seluruh tenaga itu dengan cuma-cuma. Sementara dia tidak seberuntung datu-datu penangkap perompak di masa silam, yang selalu dilindungi Mutiara Tuhan.

Dia mewarisi batu manikam itu tapi dia tidak mempunyai seseorang sebagai si penjaga batu. Sudah menjadi ketentuan bahwa Mutiara Tuhan harus diwariskan kepada seorang anak pilihan, sementara ibu yang melahirkan si anak adalah orang yang bertugas menjaga batu itu, yang hanya boleh dikeluarkan apabila si anak membutuhkannya. Hanya di tangan seorang perempuan terpilih itulah sang batu dapat ditundukkan. Masalahnya, Panglima Sama Banglani tidak mempunyai keturunan sehingga dia tidak dapat memilih salah satu dari istrinya sebagai si penjaga batu. Maka dia putuskan untuk menguburkan batu itu di dalam liang lahat ibunya, penjaga terakhir Mutiara Tuhan.

Dia lalu membuka sebuah cerita lama, yang disimpan rapat oleh datu-datu dan perempuan pilihan, cerita tentang Mutiara Tuhan, sebuah batu yang membawa keberuntungan bagi siapa saja yang dapat memilikinya bahkan walau dia hanya melihat pancaran cahayanya saja. Seperti kekuatan yang ditimbulkan oleh hembusan angin ekor duyung, cerita itu menarik orang-orang dari seluruh penjuru lautan untuk bergabung dengan armada Bumbu Hitam, terutama puak pemburu harta, sekalipun pertama-tama mereka harus berhadapan dengan perompak Kastilia, yang kata empunya cerita juga memburu batu manikam yang sama.

Si Ujud adalah salah seorang yang terhasut cerita itu dan dia ingin menggunakan Mutiara Tuhan untuk membunuh Sultan Nurruddin.

Dengan memperhatikan kebiasaan Panglima Sama Banglani menziarahi kuburan ibunya apabila dia mau atau usai menyergap perompak Kastilia, Si Ujud telah lama memikirkan sebuah kemungkinan bahwa sang Panglima menyembunyikan batu itu di dalam kuburan ibunya. Hal ini dia sampaikan kepada sang puak pemburu harta, pihak yang dia hasut kelak untuk menjual si batu permata kepada Sultan Nurruddin sebagai penawar tinggi.

Namun puak itu sendiri, ya Kadi, setelah kuselidiki, tidak pernah tahu di mana kuburan sang ibu Panglima Sama Banglani. Sementara Si Ujud, sejak armada penangkap perompak Bumbu Hitam dikalahkan perompak Kastilia, hilang entah di mana, hingga pada akhirnya dia menabrakku di bandar Tumasik ini. Bumbu hitam yang masih dia bawa-bawa itu menunjukkan betapa jauhnya dia bersembunyi selama ini, sehingga tidak dia ketahui bahwa masa pengacauan jalur pengejaran perompak Kastilia dengan tipuan bumbu hitam sudah lama berlalu. 

Azhari tinggal di Banda Aceh. Kumpulan cerita pendeknya adalah Perempuan Pala (2005).

0 komentar:

Posting Komentar