Karya Azhari
Sumber: Koran Tempo, 12 Oktober 2008
TELAH
diceritakan dalam kisah yang lebih panjang, bahwa sebuah sidang sedang menunggu
dengan hati berdebar apakah Sultan Nurruddin memutuskan hendak membeli sebuah
batu permata bernama Mutiara Tuhan atau tidak.
Sidang
itu terdiri dari para tukang nujum yang sedang berupaya mendorong Sultan untuk
memiliki permata itu, sebab dalam nubuat yang mereka terima, hanya dengan batu
mulia itulah ratusan tahun kemudian Lamuri dapat diselamatkan dari pendudukan
Jenderal Mata Sebelah yang muncul dari seberang lautan sebagaimana halnya nasib
Negeri Khurasan yang pernah ditakbirkan Al-Hadis.
Berdiri
di samping para ahli nujum adalah seorang jauhari yang sangat berpengalaman.
Jika tukang nujum mampu menghapal ratusan hadis, maka sang jauhari dikaruniai
ingatan untuk mengetahui riwayat ribuan jenis permata, pun firasatnya mampu
menentukan permata mana yang mengandung kutukan dan mana yang membawa
keberuntungan. Limpahan kekayaan membuat sang jauhari dapat meniru apa saja
yang menjadi kegemaran Sultan Nurruddin, juga dalam hal mengumpulkan batu mulia.
Bahkan
tak jarang ia bersaing dengan Sultan untuk memburu permata langka yang sama,
dan kenyataan ini kadangkala membuat Sultan Nurruddin sakit hati kepadanya.
Tapi kalau dia disingkirkan, kepada siapakah lagi Sultan harus memastikan bahwa
sebuah manikam terbebas dari kutukan?
Kali
ini, pengetahuan sang jauhari kembali membuat majelis kagum sekaligus
terguncang. Dia paparkan riwayat Mutiara Tuhan yang sangat panjang, yang mampu
menyeret dua nabi Allah yaitu Khaidir dan Sulaiman pada sepertiga cerita. Entah
karena ingin memiliki Mutiara Tuhan untuk dirinya sendiri atau karena nyawa
Sultan Nurruddin lebih berharga, dia menyimpulkan di ujung ceritanya bahwa Sultan Pelindung Kaum Beriman dan Penumpas Kaum Murtadin
ini tidak pantas menyerahkan takdirnya pada batu yang penuh kutukan ini.
ini tidak pantas menyerahkan takdirnya pada batu yang penuh kutukan ini.
Tak jauh dari Sultan Nurruddin berdiri seorang perempuan dengan air muka yang tak tersangka-sangka karena cadar telah menutupi hampir seluruh wajahnya. Dialah Ainul Mardiyah, perempuan pembawa Mutiara Tuhan.
Di
belakang Ainul Mardiyah berbaris sembilan laki-laki yang menyaru sebagai
pengiringnya, namun sesungguhnya mereka adalah sisa terakhir anggota
Persaudaraan Rahasia Kura-kura Berjanggut, musuh utama Sultan Nurruddin yang
telah diselamatkan oleh Si Ujud. Dengan kutukan batu permata itu, sebagaimana
pesan terakhir Si Buduk (satu dari sembilan pemimpin puncak Kura-kura
Berjanggut yang telah dibinasakan oleh Sultan) mereka berencana membunuh Sultan
melalui utusannya Si Ujud.
Di
dalam barisan itu pula terdapat enam lelaki lainnya, utusan sebuah puak pemburu
harta yang mendiami muara tersembunyi di Kepulauan Sulu. Mereka tidak ada
urusan dengan segala macam rencana pembunuhan Sultan, mereka hanya menghitung
seberapa banyak keuntungan yang bakal dibawa pulang andai Sultan lebih memilih
saran para tukang nujum daripada sang jauhari.
Berdiri
pada saf yang sama dengan para tukang nujum dan sang jauhari adalah Si Ujud.
Dia termasyhur sebagai syahbandar Lamuri namun ia lebih banyak bekerja sebagai
kepala mata-mata rahasia Sultan Nurruddin. Pamornya dalam menumpas persaudaraan
Kura-kura Berjanggut membuat Sultan Nurruddin tak ingin menggantinya dengan
orang lain sebagaimana yang lazim ia lakukan selama ini, tentu setelah terlebih
dahulu membunuh semua kepala mata-mata sebelumnya.
Sesungguhnya
Si Ujud sendiri sudah lama memendam dendam-kesumat untuk membunuh
Sultan. Ia hendak membunuh Sultan dengan kutukan Mutiara Tuhan, sementara kita lihat dia berdiri dekat sekali dengan junjungannya itu.
Sultan. Ia hendak membunuh Sultan dengan kutukan Mutiara Tuhan, sementara kita lihat dia berdiri dekat sekali dengan junjungannya itu.
Mutiara
Tuhan tidak akan datang dengan kakinya sendiri ke Lamuri dan bukan pula dengan
perantara sejenis kegaiban, melainkan berkat pertemuan yang langka seorang
perempuan dengan Tuhannya pada suatu hari dan peran sejenis bumbu masak
kegemaran awak kapal penangkap perompak pada hari yang lain. Saya kutip lagi
cerita itu, cerita yang pernah dituturkan Si Buduk kepada Si Ujud, yang kemudian diceritakan kembali oleh Si Ujud kepada persaudaraan
rahasia Kura-kura Berjanggut agar komplotan itu membawa Mutiara Tuhan ke
Lamuri.
Pertemuan yang Langka
BERABAD-ABAD
silam, bagai ingin menandaskan kembali di hadapan umat manusia bahwa Tuhan
dapat melakukan apa saja, Dia yang satu ini pergi ke Barat pada suatu pagi.
Kepergian-Nya yang penuh makna itu membuka pintu takdir yang berbeda-beda bagi
tiga golongan umat-Nya.
Golongan
pertama adalah sebagian besar umat-Nya yang hanya menunggu kepulangan-Nya, oleh
sebab Dia memang berjanji untuk kembali pada suatu hari nanti.
Andai
muara, cadas, dan beting karang di teluk itu Dia beri kemampuan bertutur, maka
mereka adalah saksi yang paling terpercaya dan tua untuk mengungkapkan
bagaimana sehari setelah kepergian-Nya ratusan orang berlomba-lomba mengayuh
perahu mengikuti alur perahu-Nya, oleh sebab telah Dia janjikan keabadian
kepada siapa saja yang dapat bertemu dengan-Nya dalam perjalanan-Nya menuju
Barat. Inilah golongan kedua, mereka yang sampai sekarang dikenal sebagai para pemburu keabadian dari Timur.
Golongan
ketiga adalah sebuah wangsa terpandang yang pernah menyelenggarakan sayembara
menangkap burung ajaib dengan hadiah seorang perempuan rupawan. Sayembara itu
sendiri mengawali kemunculan-Nya untuk pertama kali dari tempat-Nya yang gaib
setelah Dia saksikan tak ada satu pun manusia yang mampu menangkap si burung.
Dia muncul sebagai seorang yang buruk rupa serta lemah bagai tidak mampu
menolong diri sendiri.
Barangkali penyaruan ini mengandung maksud agar umat manusia tidak terguncang oleh wujud asli-Nya. Tapi ketika
Dia berhasil menangkap si burung, wangsa yang memalukan ini sama sekali tidak
takjub oleh kemampuan-Nya, melainkan terpengaruh oleh wujud lahiriah-Nya, sehingga
mereka merasa adil untuk menukar taruhan si perempuan rupawan dengan seekor
babi hutan.
Kepergian-Nya
ke Barat barangkali tak ada hubungannya dengan sikap tak senonoh wangsa ini,
namun kemudian mereka sungguh menyesali perbuatan mereka kepada-Nya dalam
sayembara itu, dan mereka percaya bahwa kemuliaan mereka akan kembali tegak
apabila ada salah seorang dari mereka yang dapat membujuk Dia untuk kembali
pulang ke Timur. Itu sebabnya, sambil beradu keberuntungan dengan para pemburu
keabadian, wangsa ini mengutus sejumlah perempuan mereka ke arah matahari tenggelam untuk membawa Dia pulang.
Oleh
rangkaian takdir seperti itulah aku berjumpa dengan Ainul Mardiyah pada suatu
hari di Tumasik pada waktu pertemuan tahunan Sembilan pemimpin puncak
Persaudaraan Kura-kura Berjanggut.
PERSAUDARAAN
rahasia seperti Kura-kura Berjanggut yang berniat mengakhiri hidup seorang
Sultan penguasa lautan tidak akan mungkin berumur panjang apabila tidak
berlindung pada aturan. Menyelenggarakan pertemuan tahunan di sebuah bandar
yang kotor, menghindari untuk pergi bersama dan pulang dalam waktu berbeda
adalah sebagian dari aturan itu. Kupikir kepatuhan pada aturan telah menjaga
aku sedemikian rupa, sehingga tidak kusadari ada seseorang yang terus mengawasiku
sejak turun di pintu gerbang bandar.
Pada
malam hari sebelum pertemuan, seseorang di antara kami menyelia keadaan di
sekeliling penginapan dan dia melihat seorang perempuan duduk di kursi ruang
tunggu. Sambil mengawasi orang-orang yang naik-turun tangga, seketika dia
berprasangka bahwa perempuan itu pastilah mata-mata Sultan Nurruddin. Kami
semua setuju dengannya. Kami menunggu sampai kokok ayam pertama terdengar. Lalu
seseorang lain di antara kami turun ke bawah dan dia melihat hal yang sama. Malam itu juga kami putuskan untuk membatalkan pertemuan sebelum akhirnya kami keluar satu demi satu.
Aku
keluar pada giliran kelima, aku ingat hari hampir terang tanah, dan dia tepat
menghadangku di pintu penginapan.
“Tuan
Tuhan kami!”
Bukan
panggilan lirihnya yang membuatku terpukau, tapi semata-mata kejelitaannyalah.
“Tuan
Tuhan kami!”
Tak
mendapat tanggapanku sekali lagi dia ulang kata-kata itu dengan lebih keras.
Aku lantas berpikir, bahwa Sultan Nurruddin tak kehabisan akal untuk menjebak
musuh-musuhnya bahkan kalau perlu memanggil mereka sebagai tuhan. Aku telah
terbiasa menghadapi kecerdikan seperti yang kuhadapi sekarang, jadi aku tidak
akan menghindar.
“Ikutlah
ke mana langkah Tuhan jika demikian!” Aku berpikir kalau dia percaya bahwa aku
adalah Tuhannya tentu dia mau mengikuti ke mana saja aku membawanya, dengan
demikian aku dapat mengulur waktu agar delapan pemimpin yang lain dapat
mencapai tujuan mereka masing-masing. Kalaupun terjadi sesuatu, itu hanya akan
menimpaku seorang.
Perempuan
ini pasti gila. Tapi seorang perempuan gila pun terlalu menarik perhatian untuk
berjalan di samping seseorang yang mengenakan jubah Arabia. Maka sebelum aku
mampu menjelaskan bahwa aku bukan Tuhannya, kuminta dia untuk bertukar busana
dengan setelan pengembara Arabia. Cadar coklat yang menutup wajahnya itulah
yang membuat Si Ujud tidak dapat melihat rupanya yang jelita.
Lalu
perlahan-lahan mulai kujelaskan bahwa aku adalah seorang pedagang dan bukan
Tuhannya. Tapi dia tidak percaya. Dia tetap berkata,
“Tuan
Tuhan kami.” Aku memang tidak mempunyai bakat untuk meyakinkan orang gila, tapi
aku percaya orang gila pada umumnya cepat bosan terhadap sesuatu hal. Jadi aku
berharap barangkali esok atau lusa dia akan pergi dari sisiku ketika telah dia
lihat Tuhan pada wajah orang lain.
Semuanya
di luar dugaanku.
“Tuhan,
mari pulang ke Numfur.” Itulah yang terucap dari mulutnya setelah lima hari
bersamanya aku hanya mendengar,
“Tuhan
tuan kami.” Aku tak menjawab ajakannya melainkan bertanya,
“Kau
orang Numfur?”
“Bukan,
Tuhan.”
“Jadi
kau dari mana?”
“Labuan.”
“Pernah
tinggal di Numfur?”
“Tidak,
Tuhan.”
“Bisakah
kau tidak memanggilku dengan sebutan Tuhan? Kau boleh memanggilku Kadi.”
“Bisa,
Tuhan.” Lantas dia mendekap mulutnya dan mungkin tidak akan dia lepaskan kalau
aku tidak menarik tangannya dari sana..
Aku
tak mungkin terus bertanya padanya. Perempuan ini hanya mau menjawab apa yang
aku tanyakan, barangkali dia berpikir aku mengetahui segalanya tentang dirinya.
Maka aku minta dia untuk menceritakan siapa dirinya.
Dia
telah enam tahun mencari Tuhannya yang pergi pada suatu masa ketika orang belum
mengenal penanggalan. Umurnya sekarang dua puluh satu. Setiap tahun dia selalu
merangkak kian ke barat, singgah dari satu bandar ke bandar lain sambil bekerja
sebagai apa saja untuk mempertahankan entah hidupnya entah kutukannya. Hal
inilah yang membuat dia mengetahui banyak hal sekaligus mengalami banyak sekali
kejadian. Dia selalu mencari orang-orang dengan kudis di tubuh karena itulah
satu-satunya tanda yang ditinggalkan Tuhannya. Dari sekian banyak orang dengan
penyakit kudis yang ditemuinya hanya akulah yang menurut dia bisa dipastikan
sebagai Tuhannya.
Kukatakan
padanya bahwa aku harus pergi sedikit lagi ke arah barat. Sebagai Tuhan ada
banyak tugas yang harus kuselesaikan, baru setelah itu aku akan pulang ke
Numfur bersamanya. Apa yang Tuhan katakan tentu harus dipatuhinya. Begitulah
dia menerima semua ketentuan yang aku gariskan. Untuk menjaga harapannya
kuberikan dia beberapa tugas yang awalnya tak lebih dari hal remeh-temeh,
seperti mengawasi orang-orang yang bakal berkunjung ke Lamuri dan memasok seluruh keterangan yang menyangkut dengan Sultan Nurruddin. Sebagai Tuhan
yang baik kuberikan dia nama Ainul Mardiyah dan aku berjanji untuk datang menjumpainya
setahun sekali.
Persaudaraan
Kura-kura Berjanggut sungguh beruntung mempunyai seorang Ainul Mardiyah di Tumasik.
Tentu aku ingin mendapat lebih.. Pada tahun ketiga kuminta dia menghimpun
pengikut. Pada tahun keempat, yaitu di saat kau menumpahkan bubuk hitam itu,
dia sudah mampu membangun sebuah majelis yang kuat di sana.
Wahai
Si Ujud, waktu kau turun di Tumasik, sebelum berganti kapal dan melanjutkan
perjalanan ke Lamuri, barangkali karena tergesa-gesa kau menabrak Ainul
Mardiyah, perempuan bercadar yang tak kau kenal, dan kancut buntalan di
tanganmu terlepas. Berhamburlah ratusan bubuk hitam dari wadahnya. Pada perempuan
yang kausenggol dan membantumu meraup kembali hablur itu kau katakan, “Inilah
bumbu hitam.”
Dari
apa yang kautumpahkan itu dia lalu menyusuri jejakmu dan menuliskan
penyelidikannya.
Bumbu Hitam Penangkap Perompak
PEROMPAK
Kastilia pernah terkecoh karena tidak dapat membedakan bumbu hitam sebagai
penyedap masakan dengan nama sebuah armada penangkap perompak. Bumbu hitam
sebagai bumbu masak terbuat dari campuran kelapa dan cabe yang dibakar, dan
ramuan ini telah lama menjadi teman setia orang Sulu di kesunyian lautan
terutama karena keawetannya. Setiap mereka pergi melaut bumbu itu pasti diajak
serta, baik untuk dikudap begitu saja maupun untuk penyedap masakan. Terilhami
oleh kelezatan bumbu ini, Panglima Sama Banglani si penangkap perompak Kastilia
dan datu pelindung orang Sulu, memberi nama armadanya Bumbu Hitam, armada yang
sangat ditakuti sekalian perompak di lautan itu, terutama perompak Kastilia.
Tapi
sejak perompak Kastilia berhasil menggantung Panglima Sama Banglani di bandar
Zamboanga keadaan sudah banyak berubah. Jika dulu perompak ini menjadi sasaran
utama perburuan Bumbu Hitam, maka sekarang adalah kebalikannya. Orang Kastilia
bersumpah untuk memburu sisa-sisa armada Bumbu Hitam sampai ke ujung dunia.
Orang Sulu, pemilik bumbu hitam sejati, begitu mengetahui kematian sang
pelindung yang mereka cintai dan mendengar sumpah orang Kastilia itu, serentak
menumpahkan bumbu hitam ke seluruh penjuru lautan. Inilah cara mereka untuk
menyelamatkan sisa armada Bumbu Hitam dengan cara mengacaukan jalur pengejaran
perompak Kastilia, sehingga masa itu pada sebuah bandar atau pangkalan sering
ditemukan ceceran bumbu hitam tanpa sebab yang jelas.
Tapi
tahun-tahun pengacauan jalur pengejaran itu sudah lama berlalu. Bumbu hitam
kembali ke tempat asalnya, yakni panci dan kuali, bersama jahe, ikan atau ayam,
menjadi sop hitam yang lezat. Armada penangkap perompak itu sendiri sudah lama
tidak terdengar kabar beritanya. Maka aku sungguh penasaran ketika ada
seseorang yang membawa-bawa bumbu itu di dalam buntalannya. Sehingga aku merasa tergugah untuk mengusut dari mana datangnya dan ke mana tujuan si orang dagang.
Apa
yang kudapatkan membuat aku berbesar hati. Jika Kadi beranggapan bahwa salah
satu tujuan melawat ke Barat adalah untuk mengakhiri hidup Sultan Nurruddin,
maka orang yang kuselidiki ini juga mempunyai maksud yang sama. Dia adalah Si
Ujud, nakhoda salah satu eskader Bumbu Hitam. Dia bukan orang Sulu, tapi
berasal dari Lamuri. Tidak perlu heran apabila awak kapal Bumbu Hitam berasal
dari negeri-negeri yang jauh. Untuk menangkap perompak Kastilia, Panglima Sama
Banglani membutuhkan banyak sekali ahli dan para petempur untuk mengisi ratusan
eskadernya, belum lagi tukang dayung dan pembersih geladak. Dia tidak
mendapatkan seluruh tenaga itu dengan cuma-cuma. Sementara dia tidak
seberuntung datu-datu penangkap perompak di masa silam, yang selalu dilindungi
Mutiara Tuhan.
Dia
mewarisi batu manikam itu tapi dia tidak mempunyai seseorang sebagai si penjaga
batu. Sudah menjadi ketentuan bahwa Mutiara Tuhan harus diwariskan kepada
seorang anak pilihan, sementara ibu yang melahirkan si anak adalah orang yang
bertugas menjaga batu itu, yang hanya boleh dikeluarkan apabila si anak
membutuhkannya. Hanya di tangan seorang perempuan terpilih itulah sang batu
dapat ditundukkan. Masalahnya, Panglima Sama Banglani tidak mempunyai keturunan
sehingga dia tidak dapat memilih salah satu dari istrinya sebagai si penjaga
batu. Maka dia putuskan untuk menguburkan batu itu di dalam liang lahat ibunya,
penjaga terakhir Mutiara Tuhan.
Dia
lalu membuka sebuah cerita lama, yang disimpan rapat oleh datu-datu dan
perempuan pilihan, cerita tentang Mutiara Tuhan, sebuah batu yang membawa
keberuntungan bagi siapa saja yang dapat memilikinya bahkan walau dia hanya
melihat pancaran cahayanya saja. Seperti kekuatan yang ditimbulkan oleh
hembusan angin ekor duyung, cerita itu menarik orang-orang dari seluruh penjuru
lautan untuk bergabung dengan armada Bumbu Hitam, terutama puak pemburu harta,
sekalipun pertama-tama mereka harus berhadapan dengan perompak Kastilia, yang
kata empunya cerita juga memburu batu manikam yang sama.
Si
Ujud adalah salah seorang yang terhasut cerita itu dan dia ingin menggunakan
Mutiara Tuhan untuk membunuh Sultan Nurruddin.
Dengan
memperhatikan kebiasaan Panglima Sama Banglani menziarahi kuburan ibunya
apabila dia mau atau usai menyergap perompak Kastilia, Si Ujud telah lama
memikirkan sebuah kemungkinan bahwa sang Panglima menyembunyikan batu itu di
dalam kuburan ibunya. Hal ini dia sampaikan kepada sang puak pemburu harta,
pihak yang dia hasut kelak untuk menjual si batu permata kepada Sultan
Nurruddin sebagai penawar tinggi.
Namun
puak itu sendiri, ya Kadi, setelah kuselidiki, tidak pernah tahu di mana
kuburan sang ibu Panglima Sama Banglani. Sementara Si Ujud, sejak armada
penangkap perompak Bumbu Hitam dikalahkan perompak Kastilia, hilang entah di
mana, hingga pada akhirnya dia menabrakku di bandar Tumasik ini. Bumbu hitam
yang masih dia bawa-bawa itu menunjukkan betapa jauhnya dia bersembunyi selama
ini, sehingga tidak dia ketahui bahwa masa pengacauan jalur pengejaran perompak Kastilia dengan tipuan bumbu hitam sudah lama berlalu.
Azhari tinggal di Banda Aceh.
Kumpulan cerita pendeknya adalah Perempuan Pala (2005).
0 komentar:
Posting Komentar