karya Toni Lesmana
AKU sedang telanjang di sebuah kamar hotel.
Ponselku berdering. Aku bangkit dan kekasihku merengut. Aku mendapat telpon
dari tetangga yang mengabarkan kepergian istri dan anakku. Katanya mereka pergi
membawa koper besar. Konon hendak pergi ke kota yang lain. Ia tak menyebutkan
dengan persis kota apa. "Katakan pada suamiku, aku pergi!" begitulah
tetanggaku berusaha meniru titipan kalimat istriku.
Tentu aku seperti disambar petir. Aku mencoba
menghubungi nomor istriku namun tak diangkat. Berkali-kali tak diangkat. Panik.
Meraih kunci mobil. Hampir aku menampar wajah kekasihku yang menahan
kepergianku dengan cekikikan, rengekan, dan tangisan serta mengingatkan janji
pertemuan dengan seorang rekan usaha. Aku berlari menuju tempat parkir.
Mengambil kendaraan. Dan seperti seorang pembalap aku memacu mobil. Menerobos
lampu merah. Mengambil jalan-jalan kecil untuk menghindari kemacetan.
Disumpahi, diludahi, sampai dilempar para pemakai jalan lainnya. Namun
kemacetan mencegat di mana-mana. Kemacetan membuatku ingin meledak. Juga
telepon yang tak juga diangkat oleh istriku. Sebuah panggilan yang masuk malah
berisi suara kekasihku langsung kumarahi habis-habisan dan kumatikan. Aku
memukul-mukul klakson. Memaki. Berteriak sepanjang jalan.
Aku tahu bahwa ini akan terjadi. Gila. Aku
ditinggal istri dan anakku. Namun aku tak bisa menerimanya. Aku tahu ini akan
terjadi. Tapi tidak sekarang. Aku belum siap. Aku tidak pernah siap. Aku tak
tahu apa artinya rumah tanpa meraka. Neraka. Apa artinya kepulangan tanpa
mereka. Neraka. Tak kumungkiri aku sendiri biang keladinya. Kegilaanku pada
kekasih-kekasihku di luar rumah barangkali sudah diendus oleh istriku. Sudah
diketahuinya. Aku memang tak dapat menahan diri dari perempuan jika berada di
luar rumah. Kesibukan kerja dan kesibukan selingkuh bagiku hampir sama. Aku tak
dapat bekerja tanpa berselingkuh. Barangkali aku memang telah gila sejak dulu.
Selama ini kupikir aku dapat menyimpan rapat-rapat semua kegilaanku itu dari
istri dan anakku. Namun telepon tentang kepergian mereka segera saja
menghancurkan keyakinan itu. Barangkali istriku sudah mengetahuinya dan marah.
Tentu saja istri mana yang tak akan marah jika mengetahui kelakuan suami
seperti aku. Aku akui itu. Tapi aku tak mungkin hidup tanpa mereka. Tidak.
Kegilaanku ini selalu menyeretku untuk bunuh diri. Dan obat untuk bunuh diri
itu adalah rumah. Adalah istri dan anakku. Untuk mereka itulah aku hidup.
Kekasih-kekasihku hanyalah ledakan-ledakan yang tak pernah dapat kubendung dan
kadang tak kumengerti.
Dalam perjalanan aku mengingat stasiun.
Kupacu mobil sambil kubayangkan istri dan anakku sedang menunggu kereta sambil
melihat-lihat nama kota dalam jadwal kedatangan dan keberangkatan. Istriku
barangkali dengan mata sembab berusaha menerangkan pada anakku tentang
kepergian mereka. Ia akan bercerita tentang sebuah liburan, untuk menutupi
segalanya. Istriku adalah perempuan lembut dan bijak. Kata-katanya selalu
lembut dan menyejukkan. Ia tak pernah marah. Tak pernah mengeluh. Tak pernah
bertanya macam-macam. Ia selalu tersenyum. Aku selalu menganggapnya anugerah
dan pintu bagiku untuk mengenal Tuhan. Sekalipun di luar rumah aku selalu lepas
kendali. Bagaimana aku bertahan menempuh hidup tanpa cahaya. Jika cahaya
satu-satunya kini pergi.
Sampai di stasiun dengan suara rem yang
mendecit panjang. Aku membanting pintu mobil dan berlari ke pintu masuk.
Menerobos penjaga yang seperti tersihir. Aku menyusuri seluruh stasiun.
Memperhatikan semua wajah yang menunggu kereta. Memasuki kantin-kantinnya.
Bertanya pada para pedagang, pengamen. Namun nihil. Tak ada yang menjawab
pertanyaanku. Semua wajah berpaling dan menyingkir. Istri dan anakku tak
kutemukan. Yang kutemukan hanya wajah-wajah yang memperhatikanku dengan sorot
mata yang ganjil. Dan ketika sebuah kereta datang, Orang-orang keluar dan masuk
ke dalam kereta. Aku melompat ke dalam sebuah gerbong. Lantas memeriksa setiap
gerbong. Dari satu kursi ke kursi yang lain. Tetap nihil. Cepat aku melompat
kembali dan berlari kembali menuju mobil.
Terminal adalah tempat selanjutnya.
Satu-satunya terminal di kotaku tak terlalu jauh dari stasiun. Namun kemacetan
akan membuatnya seperti perjalanan menuju neraka. Kupikir lebih baik jalan kaki
melalui gang-gang yang masih kuingat. Hanya sebentar akan segera sampai. Aku
keluar dari mobil. Membanting pintu lagi. Larilah aku di trotoar lantas masuk
ke sebuah mulut gang. Sedikit berliku. Padat oleh pejalan dan pengguna motor.
Beruntung orang-orang yang kulalui seperti memberi jalan. Mereka minggir dan
merapatkan diri ke tembok gang. Sepertinya enggan bersentuhan denganku.
Sebagian malah berlarian seperti takut. Tak berapa lama aku sudah keluar dari
labirin kota itu. Nampak di seberang jalan. Terminal sedang ramai-ramainya.
Tanpa melihat kiri kanan. Aku melesat menyeberangi jalan. Terdengar bunyi rem
dan klakson seperti musik yang mengiringi langkahku. Kegaduhan dan caci maki.
Di Terminal. Seperti di stasiun. Mataku
begitu liar menatap semua wajah. Terminal yang luas yang aku susuri tanpa
lelah. Menaiki bus demi bus yang masih menanti jadwal berangkat. Semua bus aku
periksa. Setiap sopir dan kondektur aku tanyai. Kios-kios dagangan. Bahkan
hingga WC umum dan musala. Aku ingat kau tak pernah meninggalkan waktu salat.
Dan ketika itu tepat ketika azan Asar berkumandang. Tapi tak kutemukan. Tak.
Yang kutemukan hanya tatapan-tatapan ganjil ke arahku. Kasak-kusuk dan cibiran.
Bahkan tangan-tangan kasar yang menghalauku pergi.
Hampir putus asa. Aku berdiri di bawah
jembatan penyeberangan. Ingin marah dan menangis. Tak tahu mesti mencari ke
mana lagi. Istriku adalah orang yang pendiam. Dia nyaris tak mempunyai teman di
kota ini. Ia tak pernah ke mana-mana. Hanya tinggal di rumah. Mengurus rumah
dan anak. Ah, anakku yang baru berusia tiga tahun itu. Sama pendiamnya dengan
ibunya. Wajahnya pun begitu mirip. Beruntung ia tak mewarisi kegilaan ayahnya.
Pikiranku semakin mati saja rasanya. Aku tak tahu mereka berangkat ke mana. Aku
dan istriku adalah manusia rantau di kota ini. Kami berasal dari pulau-pulau
yang jauh. Menyeberangi lautan jika hendak pulang ke kampung halaman. Dulu,
kami bertemu sama- sama dalam keadaan sebatang kara di kota besar. Seperti awan
di langit. Aku awan hitam dan ia awan putih.
Ada baiknya kudatangi saja rumah tetanggaku.
Agar lebih jelas. Aku naik ke jembatan penyeberangan. Barangkali dari atas aku
bisa menemukan sosok mereka. Tapi tak ada. Yang ada hanya para pengemis di atas
jembatan penyebrangan yang cepat-cepat menyembunyikan tempat uang mereka dengan
tiba- tiba ketika aku lewat. Setan. Dikiranya aku pencuri. Turun dari jembatan
penyeberangan, aku melalui kembali gang yang tadi. Tanpa menghiraukan apa pun
aku berlari secepatnya menuju mobil yang kuparkir di stasiun.
Muak sekali rasanya melihat tatapan
orang-orang ketika kumasuki mobil menghidupkannya. Segera aku berlalu memasuki
kembali kemacetan. Ponselku berbunyi. Kulihat nama yang muncul adalah nama yang
mestinya kutemui. Keparat. Masih saja mengingatkan pekerjaan dalam keadaan
darurat begini. Kemarahanku tiba-tiba seperti mendapat sasaran. Orang inilah
yang menyuruhku terus bekerja. Padahal semakin giat bekerja semakin gila
pulalah aku pada perempuan-perempuan di luar rumah. Bangsat sekali orang ini.
Semakin gila, semakin jauh pula aku dari rumah. Semakin jauh dari rumah.
Semakin sakitlah istri dan anakku.
"Mau apa lagi kau, bangsat!"
teriakku setelah kutekan tombol bergambar telepon.
"Bagaimana urusan ini? Ini proyek
besar!" orang itu malah balik membentak.
"Persetan! Kau gilaaa!" aku semakin
mengeraskan teriakan dan setelah itu memutus percakapan.
Beberapa kali masuk lagi panggilan dan pesan
singkat, tak kuhiraukan. Bayangan istri dan anakku yang berjalan menjauh dan
mengabur memenuhi kepala. Hampir Magrib ketika aku sampai di rumah tetangga.
Hanya tiga rumah dari rumahku. Aku tak berani melirik ke arah rumahku sendiri.
Aku takut.
Pintu rumah tetanggaku tertutup. Kuketuk.
Sepi. Akhirnya kugedor-gedor.
"Ya. Sebentar!" suara tetangga
begitu khas dari dalam rumah.
"Cepatlah!" sahutku tak sabar.
Pintu terbuka. Aku menyeruak masuk, hampir
menubruknya.
"Astagaaaa! Apa-apaan kau ini!"
Tetanggaku terkejut. Berkali-kali mengusap wajahnya yang tampak basah,
barangkali ia baru saja mengambil wudu. Ia berdiri mematung seperti melihat
hantu. Kemudian berjalan mundur menjauhiku.
"Cepat katakan! Ke mana Istri dan anakku
pergi!" aku memburunya sebab ia terus-terusan berjalan mundur hingga
punggungnya menempel ke dinding.
Tetanggaku malah menutup wajah dengan
tangannya. Kuguncang-guncang tubuhnya.
"Cepatlah katakan! Aku tak ingin
kehilangan mereka!"
"Aku tidak tahu ke mana istrimu pergi.
Sungguh, tadi aku hanya berpapasan di jalan. Hanya kalimat tadi itulah yang
diamanatkan istrimu!"
"Kenapa tidak kau tahan! Kenapa kau
biarkan mereka pergi!" Aku lepas kendali. Tubuhnya terus
kuguncang-guncang. Dari dalam rumah muncul istrinya. Dan langsung menjerit. Dan
mengusirku. Apa salahku. Aku hanya ingin mencari kabar tentang istriku.
"Pergi kau! Dasar tak tahu terima kasih!
Istrimu pergi karena tak tahan dengan kelakuanmu yang gila itu! Pergi! Jangan
kotori rumah kami!" istrinya menjerit-jerit sambil mengusirku tanpa
melihat ke arahku ia malah memunggungiku. Sedang suaminya berbisik menyuruhku
cepat pulang. "Carilah di rumahmu, barangkali mereka telah kembali.
Carilah dalam dirimu." Tangannya dengan lembut melepas jari-jariku yang
mencengkeram pundaknya, kemudian dengan halus mendorongku ke arah pintu.
Aku ditinggal istri dan diusir oleh tetangga.
Aku keluar dengan perasaan yang sangat sesak. Tak ada kabar tentang istriku,
yang ada malah usiran yang menyakitkan. Aku berjalan sambil menatap ke arah
rumahku. Rumah yang tiba-tiba saja seperti rumah hantu. Begitu menakutkan.
Melewati mobil yang kubiarkan terparkir di depan rumah tetanggaku. Suara ponsel
dari dalam mobil. Kuraih. Semoga istriku, batinku. Tapi yang nampak adalah nama
kekasihku. Kumatikan dan kupegang erat. Langkahku gontai menuju rumah.
Langkah demi langkah. Kenapa aku menjadi
begitu takut memasuki rumah. Aku sangat takut istriku benar-benar
meninggalkanku. Jika kumasuki rumah dan tak kutemui istri dan anakku. Aku tak
tahu apa yang akan kulakukan. Bunuh diri.
Pintu itu. Tak dikunci. Istriku mungkin lupa
menguncinya.
Ruangan ini gelap. Rumahku sangat gelap.
Selepas kubuka pintu dengan terburu-buru. Masuk dan terkejut. Pintu terdengar
menutup sendiri di belakangku. Kini di sekelilingku kegelapan. Kucoba berbalik
dan meraih-raih ke arah pintu. Namun tak dapat kusentuh apa pun selain
kegelapan. Aku tak tahu lagi kini sedang menghadap ke mana. Kiri, kanan, depan
dan belakang hanyalah warna hitam. Atas dan bawah adalah pekat.
Rumah ini menjadi asing dan menakutkan. Hanya
ruang gelap. Seperti juga pikiranku.
Kurasakan lantai yang dingin. Kakiku dapat
merasakan dinginnya lantai, gigilnya kegelapan. Kenapa kakiku tak mengenakan
sepatu dan kaus kaki. Dingin dan gigil itu merambat naik dari telapak kaki ke
jari-jari. Menyusuri setiap sendi dan urat-urat. Kaki. Betis. Lutut. Paha.
Selangkangan. Perut. Berputar di pusar. Menyebar ke tulang punggung. Punggung.
Dada. Menyebar kembali ke lengan mencapai ujung-ujung jari lengan. Berkumpul di
situ. Berbalik kembali ke pundak. Mengarah leher. Dagu. Merasuk. Bibir. Pipi.
Hidung. Telinga. Kening. Mengelilingi kulit kepala. Rambut seperti beku. Turun
kembali ke bawah. Dingin dan gigil sekujur tubuhku.
Dalam kegelapan tiba-tiba kusadari bahwa aku
telanjang.
Sekujur tubuhku hanya berpakaian dingin dan
gigil. Aku telanjang bulat ditelan kegelapan. Seluruh tulang-tulangku seperti
bersuara. Berteriak. Tertawa dan menjerit. Tubuhku bersuara. Barangkali melawan
gigil. Melawan sepi. Ketelanjanganku berteriak. Aku diserang suara-suara dalam
tubuhku. Bibirku rapat. Namun seluruh tubuhku terus mengeluarkan suara.
Mengeluarkan kata-kata. kata-kata dalam kegelapan. Entah untuk siapa. Tak ada
apa-apa di sini selain kegelapan. Selain diriku yang kini bugil dan gigil.
Terasing dan kesepian di rumah sendiri.
Tangan yang mengepal telepon bergetar
bersamaan dengan suara pesan singkat masuk. Harapan terakhir. Cahaya yang
menyilaukan dari layar ponsel. Kubuka dengan gemetar. Gemetar oleh cahaya.
Gemetar oleh harapan.
"Sayang, pakaianmu tertinggal di hotel.
Aku tahu kau telanjang di luar sana. Kembalilah ke sini. Muah...!" begitu
isi pesan singkat itu. Pesan singkat dari kekasihku. Bukan dari istriku.
Kubanting ponsel itu. Kubanting ke dalam kegelapan. Lalu tubuhku yang gigil dan
bugil, semakin ramai bersuara. Berkata-kata. Kaki. Betis. Lutut. Paha.
Selangkangan. Kemaluan. Perut. Pusar. Punggung. Dada. Tangan. Pundak. Leher.
Dagu. Bibir. Pipi. Hidung. Telinga. Kening. Kepala. Rambut. Semuanya bersuara.
Berkata-kata dalam kegelapan. Memanggil-manggil namaku sendiri. Seperti
memanggil kegelapan. Sementara aku tak dapat bersuara. Aku ingin memanggil nama
istri dan anakku.
***
*) Dimuat di Tribun Jabar Minggu, 19 Februari 2012
0 komentar:
Posting Komentar