Kamis, 14 Maret 2013

C H A R L E S


Oleh Shirley Jackson

Pada hari pertamanya masuk tk, putraku Laurie, tidak mau lagi memakai pakaian kanak‑kanaknya dan mulai memakai celana blue jeans yang berikat pinggang. Kuperhatikan pagi itu ia berangkat bersama putri tetangga kami yang lebih tua umurnya. Terlihat jelas ada suatu masa dalam kehidu­panku yang telah berakhir. Putraku yang dulu sekolah di play group dengan suara merdu khas kekanakannya, kini telah berubah  menjadi satu sosok cilik yang berjalan gagah dan angkuh dengan celana panjangnya, dan sudah lupa pula berhenti di pojok jalan untuk melambaikan tangannya kepadaku.

Begitu pun ketika ia pulang ke rumah, dihempaskannya pintu depan, lalu melempar topinya ke lantai dan tiba‑tiba berteriak dengan suara serak, “Ada orang di rumah?”
Waktu makan siang ia berbicara tidak sopan pada papanya, menumpahkan susu adik perempuannya yang masih bayi dan melaporkan bahwa tadi gurunya melarang kita bersumpah dengan memakai nama Tuhan.1)

“Bagaimana sekolahnya hari ini?” tanyaku sambil lalu.
“Baik,” jawabnya.
“Apa yang kamu pelajari tadi?” tanya papanya.
“Tidak ada yang tidak kupelajari,” jawabnya dingin.
“Yang berkesan,” sambungku. “Masak tidak ada yang berkesan.”
“Bu Guru memukul pantat seorang anak,” jawabnya sambil menyuapkan roti mentega ke mulutnya. “Karena kurang ajar,” sambungnya dengan mulut penuh.
“Apa yang diperbuatnya?” tanyaku. “Siapa anak itu?”
Laurie berpikir. “Namanya Charles,” jawabnya. “Dia kurang ajar. Bu Guru memukul pantatnya dan menyuruhnya berdiri di pojok kelas. Dia sangat kurang ajar.”
“Apa yang dilakukan anak itu?” ulangku, tapi Laurie meluncur dari kursinya, mengambil sepotong biskuit, dan pergi begitu saja. Sementara papanya masih berkata, “Hey, awas kamu nanti!”

Besoknya ketika sedang makan malam lagi, begitu duduk Laurie kembali memberi laporan. “Charles nakal lagi tadi”. Dengan bibir menyeringai ia melanjutkan, “Tadi Charles memukul Bu Guru.”
“Masya Allah!” seruku. “Pasti pantatnya dipukul la­gi.”
“Tentu saja,” sambung Laurie.
“Lihat!” kata Laurie pada papanya sambil menunjuk ke atas.
“Apa?” tanya papanya, melihat ke atas.
“Lihat!” ulangnya sekali lagi sambil menunjuk ke bawah. “Lihat ibu jariku. Hii, papa bego!” Ia tertawa terbahak‑bahak.
“Kenapa Charles memukul Bu Guru?” tanyaku cepat.
“Karena Bu Guru menyuruh mewarnai dengan krayon merah,” jawab Laurie. “Padahal Charles ingin mewarnai dengan krayon hijau, sehingga dia memukul Bu Guru dan Bu Guru pun memukul pantatnya lagi dan melarang anak‑anak yang lain bermain dengannya, tapi nggak ada yang peduli.”

Pada hari ketiga, Rabu pekan pertama, Charles meng­hempaskan papan jungkit2) ke atas kepala seorang gadis cilik hingga melukainya. Oleh Bu Guru ia dihukum tetap tinggal di kelas selama waktu istirahat. Hari Kamis Charles harus berdiri di pojok kelas selama Bu Guru berce­rita karena terus‑menerus mengetukkan kakinya ke lantai. Hari Jumat ia kehilangan haknya untuk menulis di papan tulis karena melemparkan kapur.

Pada hari Sabtu aku berkata pada suamiku, “Apa menurutmu suasana di tk terlalu keras buat Laurie? Segala kekerasan, kekurangajaran, dan si Charles ini sepertinya suatu pengaruh yang jelek.”
“Nanti juga beres,” jawab suamiku menenangkan. “Memang sudah ditakdirkan ada orang‑orang kayak si Charles itu di dunia ini. Barangkali lebih baik dia menjumpainya sekarang daripada nanti.”

Pada hari Senin Laurie pulang terlambat, penuh dengan laporan. “Charles…!” serunya begitu muncul dari balik tanjakan, ketika aku sedang menunggunya dengan gelisah di tangga depan. “Charles…!” teriaknya di sepan­jang tanjakan. “Charles nakal lagi!”
“Masuklah,” kataku begitu ia sudah cukup dekat. “Makan siang sudah siap.”
“Mama tahu apa yang dilakukan Charles tadi?” desak­nya sambil membuntutiku masuk melewati pintu. “Charles berteriak‑teriak di sekolah sehingga anak dari kelas lain disuruh menyampaikan kepada Bu Guru agar menenangkannya. Kemudian Charles pun disuruh tetap tinggal setelah sekolah usai. Juga murid‑murid yang lain untuk menontonnya.”
“Lalu apa yang dilakukannya?” tanyaku.
“Dia cuma duduk di sana,” sahut Laurie sambil meman­jat kursinya. “Hey, pap! Wajah papa kayak kain pel.”
“Charles disuruh tetap tinggal di kelas setelah usai sekolah,” aku memberitahu suamiku. “Teman‑temannya juga disuruh tinggal menemaninya.”
“Seperti apa sih si Charles itu?” tanya suamiku pada Laurie. “Siapa nama lengkapnya?”
“Dia lebih gede dariku,” sahut Laurie. “Dia nggak pakai sepatu panjang dan nggak pernah pakai jaket.”

Malam Selasa diadakan pertemuan pertama antara guru dengan wali murid, dan karena bayi perempuanku terserang demam, aku terpaksa tak dapat menghadirinya. Padahal aku sangat ingin berjumpa dengan ibunya Charles. Pada hari Selasa Laurie melaporkan tiba‑tiba, “Tadi di sekolah Bu Guru dikunjungi oleh seorang  temannya.”
“Ibunya Charles?” Aku dan suamiku langsung bertanya berbarengan.
“Bukaaann!” Laurie menyangkal sinis. “Dia seorang laki‑laki dan menyuruh anak‑anak melakukan gerak badan, kami  disuruh menyentuh jari kaki. Lihat!” Laurie bering­sut turun dari kursinya lalu berjongkok dan menyentuh jari kakinya. “Kayak gitu,” katanya. Kemudian ia kembali ke kursinya dan berkata sambil mengangkat garpunya, “Charles nggak mau melakukannya.”

“Bagus,” kataku dengan nada prihatin. “Masak Charles nggak mau melakukannya?”
“Nggaaakk!” sahut Laurie. “Charles memang kurang ajar sekali terhadap teman Bu Guru itu.”
“Kurang ajar lagi?” tanyaku.
“Ditendangnya teman Bu Guru itu,” lanjut Laurie. “Teman Bu Guru menyuruh Charles menyentuh jari kakinya seperti yang kulakukan tadi dan Charles menendangnya.”
“Lalu kira‑kira apa yang akan mereka lakukan terha­dapnya?” tanya papanya.
Laurie mengangkat bahunya.
“Mungkin melemparnya dari sekolah,” jawab Laurie.

Hari Rabu dan Kamis berjalan seperti biasanya, Charles bikin ribut ketika Bu Guru sedang bercerita dan memukul perut temannya sehingga anak itu menangis. Hari Jumat Charles dihukum tetap tinggal di kelas lagi setelah pelajaran usai, begitu juga semua teman‑temannya.

Setelah tiga pekan di tk, Charles telah menjadi bahan pembicaraan dalam keluarga kami. Bayiku menjadi Charles kalau ia menangis terus sepanjang malam. Laurie menjadi Charles waktu ia mengisi kereta mainannya dengan lumpur sampai penuh dan menariknya melewati dapur. Bahkan suamiku, ketika sikunya menyangkut di kabel telepon se­hingga menyebabkan telepon, asbak dan vas bunga berjatuhan dari meja, menggerutu setelah beberapa saat, “Kayak si Charles aja!”

Antara tiga sampai empat pekan tampaknya ada peruba­han pada diri Charles. Laurie melaporkan dengan penuh semangat pada waktu makan malam pada hari Kamis pekan ketiga. “Hari ini Charles bertingkah sangat baik dan Bu Guru memberinya sebuah apel.”
“Apa?” Aku tak percaya, dan suamiku menanya lagi dengan hati‑hati. “Maksudmu si Charles itu?”
“Charles,” Laurie menegaskan. “Tadi dia membagi‑bagikan krayon lalu mengumpulkan buku‑buku dan Bu Guru mengatakan bahwa Charles adalah penolongnya.”
“Apa yang terjadi?” tanyaku meragukan.
“Charles jadi penolong Bu Guru, itu saja,” kata Laurie dan mengangkat bahunya.
“Apa mungkin Charles bisa begitu?” aku bertanya pada suamiku pada malam harinya. “Mungkinkah itu terjadi?”
“Tunggu saja,” sahut suamiku dengan nada sinis. “Kalau kau sudah mulai bicara soal Charles, bisa berarti dia hanya bikin masalah.”

Tapi agaknya ia salah. Selama lebih dari sepekan Charles telah menjadi penolong Bu Guru. Setiap hari ia membantu Bu Guru membagi‑bagikan sesuatu dan mengumpulkan­nya lagi. Tak ada lagi yang dihukum setelah sekolah usai.
“Pekan depan akan diadakan lagi pertemuan antara guru dengan wali murid,” aku memberitahu suamiku suatu sore. “Aku ingin berjumpa dengan ibu si Charles di sana.”
“Tanya padanya ada apa dengan si Charles itu, aku jadi penasaran,” sahut suamiku.
“Aku juga,” sambungku.

Pada hari Jumat pekan itu segalanya normal lagi. “Coba tebak apa yang dilakukan Charles tadi?” tanya Laurie di meja makan dengan nada agak takjub. “Dia mengajari seorang anak wanita untuk mengucapkan suatu kata dan anak wanita itupun lalu mengatakannya sehingga Bu Guru menyabun mulutnya, sedangkan si Charles tertawa.”
“Kata apa?” tanya papanya dengan bodoh. Laurie pun bilang, “Akan kubisikkan di telinga papa, kata itu sangat jorok”. Ia beringsut dari kursinya dan berjalan menuju papanya. papanya menundukkan kepala dan Laurie pun membi­sikkan sesuatu dengan riang. Kedua mata papanya terbela­lak.
“Benarkah Charles mengajari anak perempuan itu bilang begitu?” tanyanya hati‑hati.
“Dia mengucapkannya dua kali,” sahut Laurie.
“Charles menyuruhnya mengucapkan itu dua kali.”
“Lalu si Charles diapakan?” tanya suamiku.
“Nggak pa‑pa,” jawab Laurie. “Dia cuma membagi‑bagikan krayon.”

Pada hari Seninnya Charles tak menghiraukan anak wanita itu lagi dan ia mengucapkan sendiri kata‑kata jorok itu tiga atau empat kali, sehingga mulutnya pun disabun setiap kali mengucapkannya. Ia juga melempar kapur lagi.

Suamiku mengantar sampai di pintu sore itu ketika aku akan berangkat pada pertemuan antara guru dengan wali murid. “Undanglah dia untuk sekedar minum teh setelah acaranya selesai,” kata suamiku. “Aku ingin mengenalnya.”
“Kalau dia datang,” sahutku berharap.
“Dia akan datang,” sambung suamiku. “Tak dapat kubayangkan bagaimana jadinya acara ini tanpa kehadiran ibu si Charles itu.”

Di pertemuan itu aku duduk dengan gelisah, memerik­sa setiap wajah keibuan yang sedap dipandang, berusaha untuk menentukan siapakah yang mengandung rahasia tentang Charles. Tak satupun tampak di mataku yang berwajah kuyu. Tak satupun ada yang berdiri dalam pertemuan itu dan meminta maaf atas kelakuan puteranya. Tak seorangpun menunjukkan tentang Charles.

Selesai pertemuan aku mencari guru Laurie dan beru­saha menemuinya. Wanita itu memegang sebuah piring berisi secangkir teh dan sepotong kue cokelat, sedang aku sendiri memegang sebuah piring berisi secangkir teh dan sepotong kue manisan. Kami saling mengangguk dan tersenyum.

“Saya sangat ingin berjumpa anda,” sapaku memulai percakapan. “Saya ibunya Laurie.”
“Kami semua sangat menaruh perhatian terhadap Laurie,” balasnya.
“Yaaah, dia pasti senang sekolah di tk,” sambungku. “Dia selalu membicarakannya setiap waktu.”
“Kami ada sedikit masalah tentang penyesuaian, pada pekan pertama atau lebih,” katanya lagi dengan sikap formal, “tapi sekarang dia adalah penolong cilik yang baik. Tentu saja kadang‑kadang.”
“Laurie biasanya cepat menyesuaikan diri,” aku menambahkan. “Saya pikir kali ini karena adanya pengaruh dari si Charles itu.”
“Charles?”
“Ya,” sambungku sambil tertawa, “anda pasti sangat direpotkan di tk ini oleh si Charles tadi.”
“Charles?” ulangnya. “Tidak ada anak yang bernama Charles di tk ini.”
.
.
Keterangan:
1) Menurut agama Yahudi dilarang bersumpah dengan menyebut  nama Tuhan.
2)      Papan jungkit adalah sepotong papan yang di tiap ujungnya duduk seorang anak dan mereka  naik  turun  bergan tian. Banyak terdapat di tk dan taman hiburan.
.
.
Shirley Jackson (1919‑1965) lahir di California. Sebagian besar cerita‑cerita dan novel‑novelnya berbau horor, biasanya dari keadaan sekitar sehari‑hari. Hasil karyanya termasuk The Lottery, We Have Always Lived in the Castle, dan The Haunting of Hill House. Cerita yang mengasyikkan ini, tentang seorang bocah cilik yang sekolah di tk, sangat bertolak belakang dengan karya‑karyanya yang lain tadi. Judul asli cerita ini Charles, diambil dari majalah English Teaching Forum edisi April 1989 halaman 4‑5.

Sumber: http://safrie.wordpress.com/2009/04/12/charles-oleh-shirley-jackson/

0 komentar:

Posting Komentar