Karya Nazar Shah Alam
Saya pernah mendapat satu pesan singkat dari seorang siswa
tentang bagaimana caranya melihat puisi yang bagus atau yang tidak bagus dan
bagaimana caranya agar dimuat di koran. Saya tidak membalas pesan itu. Besoknya
di sekolah saya mengganti materi dari semestinya tentang surat menyurat menjadi
materi tentang puisi. Di ruang kelas yang pengap itu saya mencoba mengalihkan
perhatian mereka dengan bertanya tentang pertanyaan salah satu dari mereka
kemarin. Jawabannya sangat variatif, mulai dari enak dibaca (barangkali maksud
mereka, diksi), tema yang bagus (standarnya tidak dijelaskan), berima, mudah
dipahami, dan sebagainya.
Pada kesimpulannya, saya setuju pada semua pendapat mereka.
Diksi, tema, rima, mudah dipahami memang hal-hal yang sangat menentukan dalam
puisi. Namun itu, kemudian perlu dilihat bagaimana penggunaannya. Saya pernah
membaca dan mendengar banyak sekali teori tentang puisi yang baik dan benar,
namun saya simpulkan saja di hadapan mereka seperti ini.
Sebuah puisi yang bagus adalah puisi yang tidak pergi jauh
dari unsur pembangunnya. Untuk menembus koran, salah satu caranya adalah dengan
menciptakan puisi yang bagus. Bagaimana membuat sebuah puisi yang bagus,
sebenarnya ini masalah selera. Orang acap berbeda selera bacaannya, bukan? Jadi
untuk menentukan bagus atau kurang bagusnya sebuah karya sama saja seperti
menentukan bagus mana lagu dangdut dan pop pada dua orang yang masing-masing
menyukai salah satunya. Sulit sekali dan tidak memiliki titik temu yang jelas.
Namun itu, setidaknya ada beberapa cara untuk menilai bagus-tidaknya sebuah
puisi dengan berpijak pada landasan teori dasar penciptaan puisi sebuah puisi.
Puisi memiliki aturan tertentu yang kadang acap dibelakangi oleh
penyair-penyair sekarang. Di antara yang banyak yang sudah dibelakangi itu, ada
beberapa aturan yang mau-tidak mau tetap dituruti. Dari situlah kemudian
kita mulai menilai sebuah puisi.
Diksi
Penggunaan diksi adalah seni dalam sebuah puisi. Kata-kata
yang dipilih diharapkan bisa memperindah dan menegaskan puisi tersebut. Diksi
erat sekali kaitannya dengan kata kongkret (kata yang mampu memunculkan imaji)
dan permajasan (kiasan). Diksi yang digunakan tentu mesti sesuai dengan
kebutuhan puisi, tidak berlebihan dan kemudian “menggelapkan puisi
segelap-gelapnya” hingga sulit sekali dipahami. Perbandingannya seperti ini:
matahari jatuh ke pusat peradaban
menghancurkan geliat musafir jengah
seperti cerobong telinga menitih hamparan laut
Puisi tersebut menggunakan kata-kata yang dipilih dengan
pertimbangan menggunakan kata-kata puitik. Namun sebenarnya puisi ini kurang
baik karena terasa sangat berlebihan menggunakan diksinya. Pembaca kesulitan
menemukan makna dari rangkaian kata-kata dalam puisi tersebut. Bandingkan
dengan puisi ini:
Kabut saban waktu mengerubungi langit
saban waktu menggelapi matahari
berbenah pada musim ini
membuat tubuh sedikit melipir
sedikit menguras keinginan
Desau selalu terdengar
Menyeruak hingga labirin telinga
menyusupkan rayuannya
saban waktu menggelapi matahari
berbenah pada musim ini
membuat tubuh sedikit melipir
sedikit menguras keinginan
Desau selalu terdengar
Menyeruak hingga labirin telinga
menyusupkan rayuannya
(Cerita di Musim Lindap, Afzhal Putra Armi, Serambi
Indonesia, 18 September 2011)
Pemaknaan dari diksi yang digunakan boleh jadi penulis
sedang ingin meninggalkan suatu masalah, namun tetap saja tergoda dengan
masalah yang sama. Diksi yang terpilih dan bisa dimaknai secara gamblang atau
tersirat. Inilah yang dimaksud penggunaan diksi yang tepat. Pada potongan puisi
Kepada Tangse karya Makmur Dimila yang dimuat di Serambi Indonesia, 13
Maret 2011 berikut menggunakan kata kongkret dan permajasan yang bagus sebab
mampu memunculkan imaji dan kesan yang bagus pada pembaca.
…..
Kemarin, kamu menangis
air mata cokelatmu mengalir deras, begitu maha,
menyapu tuan-tuanmu sampai mereka tak berdaya bergulir ke
ujung kakimu
dan dengan liur kuning, kamu jilat tuan-tuanmu hingga mereka
singsing celana mau mengungsi; entah ke mana
….
Selain itu, dalam penggunaan diksi, anomatope (tiruan
bunyi) yang berlebihan juga agak mengganggu. Barangkali banyak orang tidak
mempermasalahkan hal ini, sebab ini masalah selera kembali. Namun, tentunya hal
tersebut rasanya puisi tersebut asal-asalan. Puisi adalah sebuah karya sastra
yang menginginkan keindahan, kelugasan, dan kesan di dalamnya ketika dibaca.
Maka menggunakan diksi yang sesuai dan tak berlebihan dengan keinginan puisi
tersebut sangat menentukan bagus atau kurang bagusnya puisi tersebut.
Tema
Sebenarnya dalam puisi mana pun tema yang diangkat tidak
terlalu perlu dipermasalahkan. Mungkin bila tujuannya adalah koran, tentunya
puisi yang diciptakan mengikuti selera koran. Tema cinta sedikit sekali ruang
untuk koran, tentunya. Namun hal tersebut tidak mutlak, sebab ada juga puisi
bertema cinta yang dimuat di koran. Sebut saja salah satunya puisi Surat
Cinta karya Sulaiman Djaya yang dimuat di Koran Tempo, 08 Januari 2012.
…
Bayangkan, di sebuah taman,
aku duduk menunggu
dan kau tersenyum, berpayung hitam,
meski tak ada hujan.
Di sebuah langit yang mendung
atau di sebelah November yang agak
ungu,
kita sekedar bertukar kata, tentang
apa saja:
tentang seorang malaikat, yang,
entah kenapa
ingin menjual sepasang sayapnya
karena bosan mengembara seperti
kita.
…..
Tentu saja tema cinta tersebut mesti
diracik sedemikian rupa agar mampu menembus dominasi tema sosial di
koran-koran. Puisi cinta yang berbicara tentang diri memang banyak sekali ditemui,
apalagi pada para remaja. Walaupun demikian, puisi cinta yang puitik tetap
memiliki ruangnya sendiri dan tetap mesti patuh pada aturan. Tema puisi yang
baik adalah tema yang tidak melihat kepentingan diri belaka di dalamnya,
melainkan juga bisa menggugah orang lain yang membacanya.
Rima
Pada dasarnya puisi kontemporer
sudah tidak lagi terikat dengan rima, irama, persajakan, atau bait. Hanya saja,
kemudian puisi itu menjadi lebih indah dibaca bila rimanya teratur dan rapi.
Penggunaan rima dalam puisi kontemporer tentu berbeda dengan penggunaan rima
pada puisi lama. Untuk puisi kontemporer, rima yang digunakan lebih terbuka dan
tidak begitu mengekang. Kita bisa lihat contohnya dalam puisi Sajak Sebelum
Tidur, Nash Al Mayra yang dimuat di Serambi Indonesia, 26 Juni 2011 berikut:
Bersama sepotong sepi, hujan pecah jadi puisi
Buntal awan gerayangi langit jengkal ke jengkal
Bersama sepotong sunyi, malam pulang sendiri
Dan awan mengajak ruh memintal mimpi
Aku melihat puisi membaca dirinya sendiri
Dan di sana ia jadi apa pun jadi
Puisi tersebut berima, tapi tidak secara keseluruhan. Sangat
berbeda dengan puisi lama yang diketahui salah satunya pantun. Rima dalam puisi
lama bersifat mengikat dan mutlak.
Tipografi
Tata wajah (tipografi) puisi pada era kontemporer sudah
sangat bebas. Untuk puisi-puisi tertentu tipografi memang sangat berpengaruh.
Namun tipografi yang banyak digunakan adalah bentuk Spon, seperti pantun namun
tidak terikat jumlah baris. Puisi pada masa kontemporer kadang hanya satu baris
saja, satu kata saja, atau kadang isyarat dengan gambar saja. Namun itu,
lazimnya penulis menulis puisi beberapa baris. Ini bergantung pada kemauan
penulis atau perasaan penulis dalam menulis puisinya. Dalam puisi Tanya Bumi
karya Hamdani Chamsyah, penulis memakai bentuk spon.
Salahkah jika kami murka?
Sedang kalian menganiaya
Membunuh tanpa rasa
…..
Bentuk puisi yang bermain dengan tipografi lainnya adalah
seperti puisi Makmur Dimila, Pesan Petir pada Kampus Biru yang dimuat di Harian
Aceh, 8 Januari 2011 yang menggunakan gaya prosa.
Kau duduk merebah tubuh pada kursi goyang, mengepul awan
rokok, di bibir jendela, mengarang kebahagiaan fana, pada malam muda. Kau lihat
langit pekat membentang. Tak ada gemintang. Tiada pula bayanganku yang duduk
bersandar di lengkungan bulan sabit. Sudah Januari, kau menanti sejak
September. Penantianmu tergapai. Dan, petir meledak pada dinding langit. Kau
tumbang. Mulut mengucap, aku tak dengar isinya. Hanya kutahu, cahaya petir
menyampaikan pesan. Pesan yang sederhana: aku mulai membencimu petinggi kampus
biru!
Bentuk wajah dalam penulisan sebuah puisi terkadang memiliki
makna tersendiri: cara baca, ungkap, maksud, dan style. Secara keseluruhan
bentuk wajah tidak begitu mengikat mesti seperti ini atau itu. Puisi sudah
sangat luas dimaknai. Ini menyangkut selera, ruang, gaya, dan tujuan saja
sebenarnya.
Agar Dimuat di Koran
Koran dalam perkembangannya menjadi media empuk untuk
mengembangkan kreativitas menulis bagi para muda. Walaupun ruang yang
disediakan sangat kecil dan porsi waktu hanya tersedia sekali dalam seminggu,
namun penyediaan ruang itu bolehlah dikata sudah baik. Beberapa kawanku
mengeluhkan pembagian ruang yang dinilai hanya diisi oleh beberapa nama saja
atau puisi-puisi standar rendah menurut mereka. Mencoba berpikir realistis,
bahwa semua orang punya selera yang berbeda dan tema yang diangkat koran juga
acap berbeda pada setiap ruangnya, maka kemudian perlu ditekankan bahwa koran
memiliki nilai tertentu untuk semua karya.
Selera redaktur terkadang jauh berbeda dengan selera penulis
dan pembaca. Ini lumrah saja. Namun itu, selalu saja ada cara untuk menembus
media tersebut. Koran lebih berpegang pada tema. Salah satu cara gampang untuk
mengetahui karakter yang diinginkan redaktur adalah dengan membaca karya yang
pernah dimuat di sana. Hal ini bermanfaat agar penulis bisa mengetahui
bagaimana tema, bentuk, dan ukuran yang bisa diterima koran yang dituju. Selain
itu, momen juga sangat berpengaruh pada akan atau tidak akan dimuatnya sebuah
tulisan.
Masalah pada penulis muda adalah terlalu mengikuti idenya.
Padahal, untuk koran, momen adalah hal yang boleh dikata sangat diutamakan
selain daripada tema besar yang lebih cenderung kepada tema sosial. Bila sedang
musim mangga, berbicaralah tentang mangga, itu akan memudahkan penulis menembus
media. Kadang kala diksi yang lugas menjadi pilihan redaktur. Jadi bahasa yang
berbunga-bunga kadang kala tidak perlu terlalu dimainkan di dalam sebuah karya
yang tujuannya untuk koran atau rubrik majalah tertentu.[]
Sumber: http://nazaralam.wordpress.com/2012/03/11/sebaiknya-menulis-puisi/#more-342
Judul asli: Sebaiknya Menulis Puisi?