Rabu, 06 Februari 2013

Cerpen Ismaturrahmi: Di Sebuah Pesta



Rana masih memadu-padankan gaun pestanya. Ia berdiri di hadapan cermin sambil tersenyum sendiri sebab membayangkan di pesta nanti akan bertemu dengan seorang pemuda yang konon—menurut kabar tersiar—sangat tampan. Tiba-tiba Rani, saudara kembarnya muncul dari balik pintu dengan wajah cemberut dan segera merebahkan badannya di kasur.

“Gimana, bagus, gak gaun ini?” tanya Rana sembari tetap menghadap cermin. Kembarannya itu hanya mengangguk. “Aduh, jangan diam saja, dong. Kasih komentar kek,” hardik Rana lalu berbalik dan duduk di samping saudaranya yang masih bermuka masam.

“Mama paksa aku ikut ke pesta,” ucap Rani ketus.
“Jadi, kenapa tak ikut?”
“Pesta. Huh, malas banget. Mendingan main game atau nonton pertandingan LA Lakers. Lagian, yang mau dikenalin sama anaknya bu Ranti itu kan kamu, bukan aku. Kenapa aku mesti ikut coba,” kilah Rani sambil memain-mainkan handphone dengan tangan kirinya. Rana hanya menggeleng. Tentu saja ia tidak heran pada polah saudaranya itu. Mereka hanya memiliki kemiripan rupa dan saling setia. Selebihnya, bagai langit dan bumi bedanya.
“Raniiii, cepetaan..!” pekik mamanya dari bawah. Hanya menatap malas ke Rana, gadis tomboi itu segera mengambil gaun yang tergeletak di meja rias tempat Rana tadi berdiri. Dia mesti bergegas menyiapkan penampilannya. Sebab, bila mamanya tiba dan dia belum siap, akan terjadi perang dunia ketigalah di sana. Warna gaun mereka hampir sama, hanya saja hijau gaun Rana terlihat sedikit muda.

“Ran, bentar ya. Aku mau ke toilet,” tiba-tiba Rana berseloroh.
“Pintunya rusak, Na. Dikunci di dalam aja.”
“Lha, aku tak punya kuncinya.”
“Memang di dalam. Cepat ya. Jangan sampai mama ngamuk. Gak sanggup didengar.”
“Iya, tenang saja, saudaraku yang manyun. Sebentar juga udah kelar,” senyum Rana merautkan goda. Sesaat setelahnya terdengar ketum pintu tertutup. Sambil menunggu Rana, Rani menyesuaikan letak gaunnya. Ini pakaian paling menyiksa dan rumit. Rani tidak terbiasa kecuali dalam beberapa kali pesta, itu pun sebab dipaksa mamanya.

Dentum pintu terdengar cepat. Rani menoleh ke toilet kamarnya.

“Kenapa, Na?” tanya Rani dan kemudian bergerak ke sana.
“Tolong, Ran. Kuncinya jatuh ke saluran air. Lepas saat kuputar barusan,” pelas Rana dari dalam.
“Aduh, kenapa bisa? Sebentar!”
Rani berkitar-kitar di seluruh ruangan demi mencari segala sesuatu yang bisa membantu mengeluarkan saudaranya di dalam. Sia-sia, tidak ada yang bisa digunakan.

“Apalagi, Ran?” wajah sadis itu berdiri di pintu. Mamanya, perempuan tambun dengan pakaian pesta warna senada. Hanya beberapa renda bunga di bagian bawah baju itu yang membedakan mereka.

“Tidak ada, Ma!” Rani gagap.
“Ayo, berangkat!”
“Bagaimana mau berangkat, Rana masih terkunci di kamar mandi?”
“Sialan, kenapa bisa? Ya, sudah. Kamu berangkat duluan saja ke pesta bu Ranti. Mama tidak mau kita malu gara-gara telat,” ucap mamanya tegas.
“Rana?”
“Tinggalkan saja. Nanti dia diurus sama pembantu. Ayo, cepat.”
“Pembantu? Pembantu mana, Ma? Pak Alim dan Bi Nuri sedang di kampung.”
“Kalau begitu nanti waktu kita pulang saja.”
“Tapi, Rana kan mau dikenalin sama anaknya bu Ranti?”
“Kalian kan kembar, wajah kalian serupa, mereka tidak akan menebak siapa Rana dan siapa Rani. Ayo!” mamanya menarik tangan Rani.

Rani masih melihat ke arah pintu toilet. Bagaimana pun, dia merasa bersalah telah meninggalkan Rana yang kelimpungan di dalamnya.  Mamanya memang kelewatan. Sejak ayah mereka menikahi perempuan lain, mamanya seperti mati rasa pada semua orang, bahkan pada anak-anaknya. Selain itu, dia menjadi seorang pengejar harta. Apa pun diukur dengan harta.

Rani masih manyun ketika memasuki mobil jemputan. Keluarga bu Ranti memang kaya. Entah bagaimana kemudian mamanya bisa menggoda bu Ranti agar anak lelakinya yang tampan itu mau dijodohkan dengan Rana.

Anak lelaki bu Ranti, sekalipun kaya, dia memiliki perangai yang tidak baik. Rani pernah melihat bujang itu melakukan transaksi narkoba dengan seorang kawannya yang juga pemakai. Sungguh, kalau saja nanti pemuda itu menikahi Rana, dia sama sekali tidak rela. Dari kawannya yang pemakai ia tahu bahwa lelaki itu sekarang diburu oleh segerombolan orang sebab tidak membayar obat terlarang. Rani pernah berharap agar lelaki itu segera didapatkan oleh orang-orang itu, sebaiknya sebelum dia bertemu Rana.

“Rani, ayo turun. Nanti di pesta namamu Rana, ya,” ucap mamanya membuyarkan segenap nyalang pikiran. Kata-kata mamanya diangguki lesu saja oleh gadis manis itu. Mereka turun hampir bersamaan dan segera menuju taman.

Pemuda berkemeja hijau dipadu celana kain hitam dengan sepatu mengkilap berdiri memegang gelas yang di dalamnya berisi air kuning pucat. Dia menoleh ketika orang tuanya memanggil, lalu segera menuju panggilan itu.

“Bayu,” ucapnya sembari menjulurkan tangan ke arah Rani.
“Rani, eum, Rana,” jawab Rani dengan improvisasi terjaga.
“Saudaramu tidak datang?”
“Tidak, dia kurang sehat. Mungkin juga sedang nonton acara basket.”

Mereka larut dalam percakapan. Tidak dipungkiri Rani bahwa lelaki ini memang sangat tampan. Rambutnya yang ikal dipotong rapi tanpa menutupi kening sedangnya. Wajahnya bulat telur, matanya kecil dan tajam. Badannya kekar. Sempurna secara fisik. Namun, Rani terlalu tahu tentang kehidupan lain pemuda ini. Dia pemakai, diburu, dan terlalu manja pada orang tua. Rani tidak menyukai itu. Tidak sama sekali.

Pesta meriah ditandai dengan musik berdentum-dentum di sudut taman. Seketika Rani teringat saudaranya. Bagaimana Rana di rumah. Mungkinkah Rana telah berhasil membuka pintu toilet, atau jangan-jangan gadis itu telah pingsan sebab gugup. Beberapa kali disebabkan oleh pikirannya yang kacau Rani ngelantur bicaranya. Riuh di dekat panggung oleh tepuk tangan membuyarkan pikirannya terhadap Rana. Kecuali itu, keriuhan lain cukup membuat Rani terkejut.

Sekelompok orang berpakaian urakan masuk taman dan menendang-nendang apapun yang ada di sana. Beberapa tamu juga jadi amukan. Orang-orang itu beringas sekali. Rani merasakan ada tangan yang menariknya. Bayu membawanya serta. Gadis itu melepaskan sepatu dan kemudian mengikuti arah yang dibawa Bayu. Suara orang-orang beringas itu terdengar jelas. Mereka mencari pemuda yang memegang tangan Rani. Mereka semakin dekat. Segema suara kasar terdengar menyuruh Bayu berhenti. Rani menoleh ke belakang.

THUUUMMM

Tiba-tiba suara itu menghentikan lari mereka. Rani merasakan percikan darah mengenai wajahnya. Dentum keras itu membuat telinganya mengiang sangat lama, meski masih terdengar pekik histeris orang-orang yang ada di sana. Rani mengusap darah yang semakin deras mengalir. Matanya menatap Bayu. Pelan sekali, wajah Bayu semakin samar. Orang-orang berkerumun membuat mereka kepanasan. Tangan Bayu masih cekat di pergelangan tangannya. Rani tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Alam benar-benar sunyi. Sebelum semuanya hilang, Rani merasa hangat darah turun dari kepala, membasahi mukanya. Seketika, bayangan wajah Rana melintas. Bagaimana sudah kabar saudaranya?

*Ismaturrahmi adalah siswa kelas I MAN Darussalam dan tercatat sebagai murid kelas cerpen SMR-Jeuneurob angkatan pertama.

0 komentar:

Posting Komentar