Di sinilah
aku berada. Duduk di sebuah kursi goyang dalam gubuk reot ini. Sendiri di tengah
malam yang kelam membabibuta. Kelam celaka yang membuatku tenggelam di
dalamnya. Di sini, ketika tua dan sendiri, aku sadar bahwa pada masa silam aku
telah berada di rumah idaman. Tempat aku dan dia berbagi kasih. Di sini, kami
merawat dan membesarkan anak-anak kami dengan kasih sayang tulus.
Dulu sekali.
Setiap azan berkumandang, kami shalat berjamaah. Dia, imam terbaik dengan
bacaan yang bikin gidik, imam keluarga kecil kami, aku sangat mengaguminya. Kagum
lebih dari cinta. Bila senja datang, aku berdiri di depan pintu, menunggu imamku
dan sepasang cahaya kami pulang. Entah sebab apa selalu saja merindu. Rindu pada
semua yang ada pada mereka: senyumnya, tawa bersama, juga rindu ketika kami
saling membunuh resah dalam cerita-cerita yang tak ada pucuknya.
Dalam
perenungan malam ini. Ombak sejati dari Tuhan bertahun silam tiba-tiba datang
lagi. Aku dilanda ketakutan, lalu meringkuk di kursi ini sembari mencuri lihat
dari balik jemari. Ombak itu mendekat. Ombak silam yang telah mengambil
segalanya dariku. Segalanya. Tanpa ada sisa apa pun. Rumah ini lantak,
orang-orang tercinta hilang tanpa tapak, dan aku, bahkan aku kehilangan diriku
sendiri.
Demi Tuhan,
aku menemukan diriku dalam keadaan yang remuk. Kaki dan hati sama hancurnya. Ya,
aku bahkan tidak tahu apakah aku masih ada atau mungkin sudah tidak ada lagi.
Aku tidak tahu, keluargakukah yang hilang atau aku. Segalanya menjadi sangat
tipis. Lara dan bahagia, perih dan senang, rasanya adalah saudara kembar yang
teramat mirip.
Di kamar
ini, ketika aku merenungkan kembali segala yang terjadi lepas gelombang sejati
memisahkan cinta kami, aku hanya berairmata—sebenarnya air mata pun telah
kering. Tersisa padaku adalah kegersangan. Benar, ada secuil harapan hinggap
beberapa tahun setelah lara. Ketika barisan cerita terulang kembali, melepas
rindu yang sempat tertunda. Perlahan ia menidurkan lara. Mengulum kepedihan
tanpa isyarat yang terang. Namun, sayup adegan-adegan itu mulai sirna. Berganti
kekosongan seperti semula. Luka, semakin besar menganga.
Debu-debu
kehidupan beterbangan ke mana angin bertiup. Aku, seperti itulah. Diterbangkan oleh
segala yang merisaukan. Tangis sekarang berbentuk diam. Hati jatuh kembali
dalam jurang kegelapan. Lelah sudah kunanti binar kebahagiaan. Sudah terlalu
lemah sendiri. Maka, yang terbaik adalah menanti dengan pasrah doa terjabah. Diam-diam
menggantungkan harap di langit tak bertepi. Bila saja ada sedikit keajaiban,
akan kurangkai ulang cerita lama. Bila perlu, akan kutukar sisa hidupku dengan
kesempatan itu. Aku ingin melihat mereka, orang-orang lama yang saling cinta.
Di sini. Ketika
lampu dihidupkan oleh seseorang yang tidak kukenali, aku menjadi penakut dan
serta merta memburunya, memeluknya. Gadis itu mendekapku tanpa suara, tapi
dekapannya benar-benar terasa sebagai peluk pemilik. Aku menatapnya dengan
pandang tanya. Dia tersenyum. Aku semakin tidak mengenal ia.
*Bunga Nabilah adalah siswa SMA Labschool Unsyiah kelas XI. Tercatat sebagai murid kelas cerpen SMR-Jeuneurob
0 komentar:
Posting Komentar