karya Siti Noviya R
Kota Banda
Raya berdebu. Sore hari. Beberapa bercak merah menempel di dinding rumah. Baru
saja terjadi pembunuhan, sepertinya. Bocah-bocah dengan raut wajah tanpa dosa
berkeliaran di sekitar rumah. Sore di sini masih biasa, seperti lazimnya
dilakukan orang di tempat lain. Ibu-ibu yang ikut berlarian mengejar anak mereka
dengan sepiring nasi di tangan kiri dan si anak yang juga sibuk dengan langkah
kecil mereka. Berlagak tak terjadi apa-apa.
Aku baru
saja menamatkan novel yang kubaca sejak seminggu lalu. Saat tiba-tiba pintu
kamar kosku diketuk seseorang. Aton, teman kampusku. Dia mengajakku menemaninya
pergi ke terminal bus di kota untuk mengambil barang kiriman dari Ayahnya. Dan
segera saja aku setuju, karena juga tak ada yang mesti aku lakukan lagi di
kosku sore ini.
Dulunya,
Aton tak pernah punya cerita untuk dibagi. Dia pendiam dan misterius. Yang aku
tahu tentang kawanku ini adalah Bahwa dia anak perempuan satu-satunya di
keluarganya, mempunyai satu orang abang, ayah-ibunya bercerai sebab si ayah
punya istri lagi, dan beberapa bulan yang lalu, ibunya meninggal. Ayah Aton
tinggal di kota yang berbeda, sedangkan dia tinggal di sebuah rumah milik
almarhum ibunya bersama abangnya.
Akhir-akhir
ini, kukira ada yang berubah dari Aton. Dia mulai banyak bicara khususnya tentang
bagaimana ia menjalani hidup bersama abangnya. Dia seperti mendendam abangnya
yang katanya arogan, angkuh, sok mengatur, merasa selalu benar, merasa paling
dewasa, dan sok tua itu.
Seperti pada
satu malam, malam minggu tepatnya. Abangnya keluar rumah sekitar pukul delapan
malam dan baru pulang menjelang pukul dua subuh. Saat tiba di rumah, dia
mengetuk pintu kamar Aton dan menyuruhnya untuk bangun, ada yang ingin dibicarakan
abangnya. Aton bangun dan membuka pintu kamarnya. Padahal dia baru saja pulas lima
belas menit yang lalu. Awalnya abangnya bertanya perihal pintu rumah yang tak
Aton kunci. Lalu berdasarkan ceritanya, abang memarahi aton hingga tak ada
celah baginya membela diri.
Padahal aton
sengaja tidak mengunci pintu malam itu, sebab abangnya belum juga pulang dan
itu adalah satu-satunya kunci di rumahnya, berharap jika abangnya pulang tak
perlu membangunkannya lagi. Lagipula, abangnya itu bukan contoh yang baik, dia
tak pernah mengizinkan Aton pulang telat. Sebelum magrib, wajah Aton yang susah
itu harus sudah bertengger di rumah. Dan bagaimana dengan malam itu?
“Apapun
alasannya, dia tiba di rumah pukul dua subuh, dan pulang-pulang memarahiku
habis-habisan, abang macam apa dia? Nasib baik kalau dia hanya pulang dengan
wajah berdosanya oleh karena terlambat tiba di rumah. Mungkin situasinya tidak
teralu buruk. Bukan dengan memarahiku soal pintu yang tak kukunci,” kisah aton.
Dan malam berikutnya, Aton meminta untuk tidur di kosku, karena dia masih tak
bersahabat dengan abangnya yang di rumah itu. Aku tak mengizinkan, sebab
menurutku, mungkin masalahnya akan lebih runyam jika aku izinkan dia menginap.
Lalu, Karena aton memohon dengan amat sangat, apa boleh buat, baiklah untuk
malam ini saja.
Dan malam
itu. Aton kembali bercerita tentang abangnya yang berulah lagi. Sepertinya Aton
benar-benar muak dengan sikap abangnya yang ‘tak jelas’ itu. Bahkan dia pernah
berniat ingin membunuh abangnya yang mirip psikopat itu. Dan aku yang mendengar
kalimat itu seperti, inikah aton? Sadarkah dia? Dan kami akhiri malam itu
dengan cerita aton yang ingin mengakhiri hidup abang kandungnya sendiri. Lalu
kami tidur. Saat hendak berangkat ke kampus, abang aton muncul di halaman kos
ku dan memintaku untuk menyuruh aton keluar. “kacau”, batinku. Dan setelah
keduanya bertatap muka, adu mulut tak terelakkan. Sama-sama mengaku dan merasa
benar. Aku jadi lupa tentang apa yang harus aku lakukan, melerai mereka.
Dan mereka
menjadi semakin tak terkendali. Sang abang menarik adiknya untuk memaksa pulang
ke rumah, tetapi si adik enggan. Dan tiba-tiba Aton melepas tarikan tangan
abangnya dan masuk ke dalam kosku, lalu keluar lagi dengan sebilah pisau dapur
di tangannya. Kami, abang aton dan aku terkesiap. Apa yang ada di pikiran bocah
ini, pikirku. Lalu abangnya mencoba meraih tangan Aton dengan maksud merampas
pisau tersebut. Tetapi Aton sudah terlalu siap dengan kuda-kudanya, dan
berhasil menangkis tangan abangnya. Pisau masih di pihak Aton. Satu dua
tetangga pun mulai berdatangan karena peristiwa yang mencuri perhatian ini. Aku
segera sadar dari posisiku yang mematung melihat fenomena abang dan adik ini.
Aku mulai
berjalan pelan ke arah belakang aton, lalu kurenggut pisau itu dari tangan
aton. Dia terbelalak seperti tak percaya dengan yang aku lakukan. Tak apa
kukira, aku juga tak bisa percaya dengan yang dia lakukan saat itu. Impas,
menurutku. Aku membujuk keduanya untuk membicarakan hal ini baik-baik. Abangnya
terlihat setuju dengan usulku. Dan Aton, terlanjur dirasuki iblis dengan
tampangnya yang semakin beringas diambilnya batu besar yang teronggok di depan
kamarku lalu dihantam ke kepala abangnya yang sedang memencet tombol handphone,
berniat menelpon ayah mereka. Abangnya tersungkur dengan darah segar mengalir
dari kepalanya.
Dinding
kosku berlumuran warna segar. Seketika tempat ini dikerumuni tetangga-tetangga.
Dan aku seperti, aku menyerah. Dan menjadi percaya dengan apa yang kulihat.
Perlahan aku berjalan mundur. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Emp..
aku tersandung batu dan GUBRAKK!! Aku terjatuh dari kasurku. Spontan kulihat ke
sekeliling, lalu keluar kamar dengan rupa gelagapan. Tak ada Aton. Tak ada
abang yang arogan. Tak ada pintu yang lupa dikunci. Tak ada bercak darah. Tak
ada batu besar. Tak ada pembunuhan. Yang ada hanya ibu-ibu dengan beberapa anak
yang berlarian di sekitar kosku. Ya, sore disini masih biasa. Dan memang tak
terjadi apa-apa, itu hanya bercak merah bekas pekerjaan anak ibu kos mengecat
pagar rumah. Sial. Khayal sialan!
Siti Noviya R adalah siswa kelas cerpen
di Komunitas Jeuneurob