Karya Amek
Barli
KETIKA aku
beranjak tidur dan istriku masih saja menatap kaca solek, tiba-tiba ia
bertanya, “Menurutmu, apa aku cantik?”
Sontak aku
terkejut dan membisu mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Aku berpikir
keras demi mendapatkan jawaban. Apakah istriku cantik? Aku harus menjawabnya
segera.
“Memperistri
orang cantik itu penting, Mex. Sembuh lelah kita melihatnya tiap pulang kerja
dan ketika ia berdandan. Cantik itu bisa menjadi penambah semangat!” kata Bang
Ham ketika mengutarakan keinginanku melamar pacarku yang sekarang sudah jadi
istriku. Aku tidak peduli pada nasihat Bang Ham. Kemudian aku nikahi pacarku
itu.
Beberapa
temanku meledek pilihanku: Memperistri perempuan kaya namun tidak pernah
mempertimbangkan wajahnya. Apakah benar istriku jelek lantaran kulitnya hitam?
Badannya gemuk - aku pernah memintanya mengurangi makanan, tapi istriku malah
marah besar - dan pendek? Tapi dia memiliki mata sipit, rambutnya lurus, dan
gaya jalannya enak dilihat.
Tidak.
Istriku tidak mutlak jelek seperti kata teman-temanku. Ada kalanya ia terlihat
cantik. Misalnya, ketika di sedang mencuci pakaian, bagaimanapun wajahnya
terlihat begitu manis dengan nafas terengah- engah menahan lelah. Keringat
mengalir lebat membasahi kening dan pipinya. Ketika itu, apabila kutawari dia minum
atau kusuruh istirahat, dia hanya tersenyum. Senyum itu.keikhlasannya telah
membuatnya cantik di mataku.
Tapi betapa
geramnya aku ketika pada suatu Senin dia membuat kehebohan di kantorku. Di
kantorku setiap hari Senin karyawan diwajibkan memakai seragam warna merah. Hal
itu juga berlaku kepada tamu yang ingin bertandang ke kantor. Hari itu matahari
menyala garang dan membakar. Istriku datang dengan rantang terjinjing di tangan
dan memasuki kantorku tanpa beban.
Bayangkan,
seorang wanita berkulit hitam memakai baju siffon berwarna merah dengan rantang
di tangan. Teman-temanku terlihat menahan tawa. Aku paham mereka sedang
menertawakan istriku. Aku keluar ruangan dan menemui istriku. Lalu membawanya
ke ruanganku. Di satu sisi aku malu dengan tatapan diam-diam teman-temanku,
namun di sisi lain ia adalah istriku.
Tak mungkin
aku ikut menertawakan istriku sendiri. Semestinya aku harus berterima kasih
kepadanya sebab ia mau mengantarkan untukku makan siang meskipun terik matahari
membakar kulitnya yang memang sudah hitam.
Aku tidak
suka warna merah oleh satu sebab yang aku tak tahu. Tapi istriku, ketika hendak
tidur selalu saja memakai piyama berwarna merah. Dia selalu bersolek sebelum
tidur, kebiasaan yang sebenarnya paling tak kusukai darinya. Maka, agar ia tidak
berlama-lama di depan kaca solek dan bergegas tidur, aku kerap mematikan lampu
kamar ketika baru saja ia memakai bedak. Istriku kesal dan bertanya, “Kenapa
kamu matikan lampunya? Aku belum selesai. Apa salah kalau aku ingin selalu
kelihatan cantik di depanmu!” Untuk mencairkan suasana, aku bilang padanya,
“Tanpa bersolek pun kau tetap cantik, Sayang.” Dia tertawa senang. Namun
kebiasaannya tidak juga berubah.
***
“Apakah aku
cantik?” tanya istriku. Bulan lalu, ketika merayakan kenaikan pangkatku, kami membuat
kenduri. Aku membantu istriku untuk persiapan kenduri. Aku menemaninya membeli
apa-apa saja yang diperlukan di pasar. Aku melihatnya menawar dengan ramah.
Namun, ketika penjual sayur menawarkan barang sedikit lebih mahal, raut
wajahnya seketika berubah kesal dan palak. Tak mau kalah, istriku terus menawar
sampai si pedagang menyerah. Dia bahkan akan menawar mati-matian untuk menurunkan harga lima ratus rupiah. Sungguh
kelewatan. Ketika itu wajahnya terlihat lucu dan jelek.
Matahari
semakin terik namun barang-barang persiapan kenduri belum semuanya terbeli.
Dari pasar sayur, langsung aku mengajak istriku ke toko baju. Sangat khas raut
wajah istriku ketika di toko baju. Senyum tidak pernah lepas dari bibirnya. Tak
kelihatan raut-raut kesal seperti di pasar sayur tadi. Dia terlihat cantik di
sini. Kecuali ketika ia mencoba mengenakan sebuah gaun merah yang ditaksirnya.
Untung saja tidak jadi dibeli gaun sialan itu.
***
Seminggu
setelah kenaikan pangkatku, kami mendapat kabar duka dari kampung. Ayah mertuaku
meninggal lantaran stroke. Mendengar kabar itu, kami pun langsung menuju ke
rumah duka. Sesampainya di sana istriku menangis melihat sang ayah terbaring
dengan mata terkatup dan mulut terbuka seperti orang kelelahan. Tak mau larut
dalam kesedihan, ia beranjak mengambil Al-quran, dan membacanya. Sungguh indah
ketika ia sedang melantunkan ayat-ayat
suci. Pada saat itulah, aku melihat istriku berbeda dari apa yang dikatakan
oleh teman-temanku. Aku mendapati istriku cantik. Aku menyayanginya.
***
“Apakah aku
cantik?” suatu hari istriku mengejutkanku lagi.
Sebulan
setelah mertuaku meninggal, istriku dan saudaranya sangat berhasrat dengan
harta warisan ayah mereka. Sebagai suami, tentunya aku harus mendampingi
istriku saat perundingan pembagian harta warisan dilakukan. Mereka mengadakan
rapat keluarga ditemani pengacara keluarga. Lima bersaudara - lima perempuan
- itu menjadi yatim piatu setelah
kematian mertuaku. Adapun istriku anak
keempat. Dalam rapat keluarga, istriku tampaknya yang paling serakah di antara
kakak dan adiknya. Hasratnya yang begitu menggebu terhadap harta itu
dibayang-bayangi oleh kakak pertamanya yang segera merasa didaulat sebagai
pemimpin keluarga.
Aku jelas
terkejut melihat sikap istriku. Sangat tak mengenakkan melihat wajahnya yang diliputi
kekesalan, kemarahan, dan sinis terhadap saudara kandungnya. Berbeda sekali
ketika ia duduk di samping jasad ayahnya pada saat melantunkan doa-doa. Dalam
keadaan begini, bukankah sudah kukatakan pada engkau bahwa dia benar-benar
terlihat jelek? Kali ini ia menambah hina dirinya karena dibutakan oleh harta.
Setelah
berdebat semalaman, rapat akhirnya selesai. Aku menemuinya. “Apa sudah kau
dapatkan apa yang kauinginkan?” tanyaku. “Aku tak suka dengan sikapmu ketika
rapat tadi.”
“Tenang,
Sayang,” katanya. “Kau tak mengetahui siasatku. Aku bersikeras seperti itu
karena kakak pertamaku memiliki sifat buruk. Dia sangat suka menghamburkan uang
di tempat-tempat hiburan. Aku tak ingin harta peninggalan ayah digunakan untuk
hal yang hina seperti itu,” jawab istriku berlinang airmata.
“Maafkan
aku!”
“Aku ingin
harta itu disumbangkan untuk sebuah panti asuhan,” sambungnya sedih.
Hatiku
tersentuh oleh niat istriku yang ternyata tulus dan tidak serakah sebagaiman
dugaanku. Aku berusaha menenangkan dirinya. Dia
akhirnya tersenyum. Senyum yang memancarkan keanggunan. Istriku kembali
terlihat cantik. Cintaku kepadanya semakin bertambah.
Setelah dia
tenang dan aku berjanji untuk terus mencintainya tiba-tiba sifat tidak
terduganya kembali muncul. “Apakah sulit untuk menjawab pertanyaanku?”
bentaknya.
“Maaf. Apa
maksudmu? Aku tidak paham,” jawabku.
“Apakah aku
cantik? Berkali-kali sudah aku tanyakan. Berkali-kali engkau mengalihkan
persoalan. Kamu tinggal menjawab iya atau tidak. Apakah itu sulit?” dia marah
dan mematikan lampu kamar. (*)
* Amek Barli, pegiat di Komunitas
Jeuneurob dan Mahasiswa Gemasastrin angkatan 2012