Senin, 02 Juli 2012

Menunggui Senja


Oleh May Yusra Soelaiman
Senja membayang pada langit sore. Memayungi berbondong burung yang  pulang ke sarang. Angin mendesau pelan dari arah pantai. Menyibak pelan bagian bawah kemeja Qabil yang masih berdiri menunggui matahari tenggelam. Petang ini adalah petang ke sekian yang tak terhitung saat ia menatapi pantai dengan pandangan kosong, melihat bola merah di ujung barat. Ia seperti sedang menunggui seseorang yang tak kunjung datang. Beberapa pasang remaja terlihat bergandengan tangan mesra tak jauh dari tempatnya. Sama seperti Qabil, menatapi bola raksasa yang akan dipeluk langit.
Entah mengapa ia merasa sore ini akan menjadi sore terakhir ia berdiri di sini. Ia merasa lelah. Lelah menunggu sesuatu yang tak pernah ada dan tak datang untuknya. Ia lelah pada permintaan Sarah sebelum pergi.
"Berjanjilah, bahwa pada senja-senja yang akan datang kau akan berdiri menungguiku di sini." Ia hanya mengangguk, lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sesuatu.
Awalnya, Qabil memang tak pernah ingin datang ke pantai. Itu sangat aneh menurutnya. Berdiri, menatap, lalu pulang. Untuk apa? Toh itu hanya membuang waktu. Harusnya seusai kantor ia bisa langsung pulang, mandi, istirahat. Ya, ia memang tak pernah ke pantai seminggu dua minggu setelahnya. Namun, pada hari-hari selanjutnya ia seperti kehilangan sesuatu. Ia seperti kehilangan hal yang paling dekat dengannya, sangat dekat. Ia tau, Ia tak menemukan Sarah dalam hari-harinya.
Dengan terburu, ia menghidupkan Laptop, membuka folder-folder, tapi ia tak menemukan gambar Sarah. Qabil menyesal tak pernah menyimpannya selembarpun.
Sore berikutnya, ia datang ke pantai, menatap senja, menunggui Sarah datang. Ia berharap dapat menghilangkan rasa ‘hilang’ itu. Ia benci keadaan ini, karena saat mengenang seperti ini, ia tak tau harus bagaimana. Ia hanya mampu menggambar wajah Sarah pelan-pelan pada gurat senja yang akan hilang. Ia hanya bisa mengingat senyum terakhir Sarah saat mengucapkan selamat tinggal. Hanya itu.
Senja hari itu berlanjut hingga senja selanjutnya, lalu senja-senja seterusnya. Sarah tak jua datang.
***
Ia mengenal Sarah pada tahun ke empat kuliahnya. Pada satu petang di depan mesjid kampus. Sebelumnya, ia telah membuat janji untuk bertemu seorang teman. Qabil menunggunya di tangga mesjid. Tiga puluh menit kemudian, Sarah yang datang. Teman yang ditunggu harus buru-buru pulang karena ada urusan penting, lalu terpaksa menitipkan pesan pada Sarah. Jadilah mereka bertemu, lantas berkenalan.
Bagi Sarah, Qabil adalah kakak tingkat yang istimewa. Sarah kagum dengan prestasi-prestasi Qabil, kagum pada kemandirian Qabil, Sarah kagum pada semua hal yang dimiliki Qabil. Hingga akhirnya semua kekaguman itu bermuara pada satu kata, Cinta. Ya, Sarah mencintai Qabil. Sayangnya, ia tak pernah mencintai Sarah seperti Sarah mencintainya dengan cinta yang penuh. Seperti Sarah mengaguminya meski ia dalam keadaan bagaimanapun. Seperti Sarah yang tak pernah lelah memahaminya. Ia menyesal kenapa harus mencintai Sarah pada saat Sarah harus pergi meninggalkannya. Saat beberapa hari sebelum Sarah mengucapkan perpisahan.
***
Qabil menghela nafas, lalu beranjak beberapa langkah ke depan. Tampak beberapa remaja sudah akan meninggalkan pantai. Hari semakin gelap, senja sudah tenggelam seluruhnya. Tiba-tiba Qabil teringat saat senja terakhirnya bersama Sarah, Ia mengatakan satu hal yang pelik untuk dipahami,
"Qabil, Aku seperti menuju senja. Seperti tak kembali. Padahal aku sangat ingin di sini. Di sampingmu"
Ya, Sarah memang tak pernah kembali padanya. Qabil yakin, ia harus pulang dan tak kan pernah kembali.
"Aku tau, Kau selalu datang Qabil", Ia menoleh, melihat ke belakang, berharap Sarah datang pada akhirnya. Namun, ia hanya menemukan sepi. Sendiri.

Banda Aceh, 25 Juni 2012
Untuk Khalil dan Sarah

0 komentar:

Posting Komentar