Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh, 14 Agustus 2011
Bahwa jaman tak berubah. Hanya wajah dan pikiran manusia saja berganti. Orang-orang di negeriku juga telah alami itu, seperti koran-koran yang berinovasi dan perempuan-perempuan yang menginginkan tubuhnya tampil di surat kabar itu.
Sebenarnya mereka tetap pada jaman usang. Namun penampilan, pikiran dan cara bertindak yang berbeda, sehingga orang-orang berpikir bahwa jaman telah berubah. Sehingga lembaga-lembaga, media-media, gadis-gadis, pemuda-pemuda dan usia segala usia berinovasi supaya tampil beda lalu dipuja-puja.
Nur tak mau begitu. Ia perempuan desa. Dibiarkan dirinya alami ibarat buah terbungkus dedaunan. Ia tunaikan hari-harinya di kaki bukit dengan sesering mungkin membaca Al-Quran, seperti yang sudah dilakukan saat subuh tiba—ia lebih bahagia jika orang negerinya mau baca kitab suci itu di selain dalam bulan Ramadhan.
Rutinitas Nur adalah memandikan kerbau. Seperti suatu pagi yang dingin ia memandikan kerbau milik ayahnya; jantan dan betina. Mungkin saja di pagi hari remaja putri seusianya sedang larut merias diri depan cermin, lalu berangkat ke kampus atau tempat kerja: mereka siap melayani dan barangkali dilayani. Atau barangkali masih dalam selimut di atas kasur springbed yang empuk—perempuan malas!
Air sungai menyapu betisnya dengan kaki berpijak pada bebatuan lebar nan licin. Ia mencari-cari pijakan kasar sembari terus menyiram badan dua kerbau berkulit hitam pudar dengan guratan merah jambu—peternak sapi meyebutnya gapi—di berbagai bagian tubuhnya. Warna seperti warna orang yang ditiru orang-orang negerinya itu menempel di bawah perut, tepi mulut, sekeliling paha, dan sedikit di kaki.
Tubuhnya basah oleh guncangan tubuh kerbau jantan, seperti basahnya orang-orang di negerinya oleh tipuan janji-janji pemimpin dan calon pemimpin yang sebentar lagi bakal dicontreng yang mungkin contrengannya kena di hidung jambu mereka, mata licik mereka, kepala dangkal mereka.
Sinar mentari mencuri kesempatan guna panasi kulit putih gadingnya di sela-sela percikan air oleh hentakan ekor kerbau betina. Buru-buru digaruk-garuknya tubuh kerbau dengan busa-busa sabun sehingga menyisakan wewangian, mungkin sekali seperti dilakukan gadis-gadis seusianya supaya tampak berkilau dan barangkali bisa terlihat seperti model lalu dilirik sorotan mata dan lensa kamera wartawan, kemudian diwawancarai dan esoknya berpose di halaman koran dengan memegangi produk orang-orang berkulit seperti kulit kerbau ayahnya. Dengan itu, mungkin mereka bakal sombong.
“Dek Nur, bagah (cepat). Rombongan linto baro katroh (mempelai pria sudah tiba),” seperti suara Kak Nong di atas sana, di antara kicauan burung rimba. Ya ternyata. “Get(baik),” sahutnya keras, supaya tak terkalahkan oleh gemericik derasnya aliran sungai.
Kemudian Nur segera pulang. Tak butuh banyak waktu sampai di kandang kerbau, cuma lima menit jalan kaki, tambah dua menit lagi karena menarik kerbau dengan tambang yang mengalung simpul lehernya.
Usai mengandangkan kerbau di belakang rumah, ia masuk lewat pintu belakang agar tak terlihat tamu, bukan malu, tapi tak enak dengan ibunya. Pun begitu, nyaris saja ibu melihatnya.
Kemudian mandi sekejap di kamar yang terletak jauh dari ruang tamu. Sudah itu memaki baju terbagus yang dipunya. Kebaya merah jambu. O, bukan merah jambu, sebab itu warna kulit orang-orang yang digemari orang-orang di negerinya. Ia mengenakan kebaya putih, tapi warnanya mulai menguning oleh air sungai saat dicucinya dua kali dalam setahun selama tiga tahun terakhir—memakainya saat lebaran Fitrah dan Haji saja.
Kemudian bercermin: ia melihat wajahnya bulat dan putih gading, hidung mancung, gigi rata, mata lentik, rambut panjang lurus, pipi oval dan dagu belah tengah, alhamdulillah. Kemudian ia duduk di kamar dengan ibu dan kakaknya. Sementara di ruang tamu, abangnya sedang menjadi wali pernikahannya. Ia mendengar suara Sulaiman—namaku, hari itu sebentar lagi jadi suaminya—mengucapkan ijab kabul. Senang dirinya tapi penasaran bagaimana wajahku.
Begitu akad nikah usai, ia diminta keluar untuk melihatku yang pertama kali. Sebelumnya kami tak pernah ketemu, kecuali ia mendengar suaraku saja saat berbicara dan kupinangnya di balik kain hijab di rumahnya beberapa hari sebelum pernikahan. Dari suaraku, ia berpikir kalau aku tak ganteng, tapi ah, ia tak peduli itu. Ia cuma mengharapkan aku punya kekayaan seperti Nabi Sulaiman, sesuai namaku. Mungkinkah?
Ternyata dilihatnya, aku berhidung mancung, kulit kuning langsat, tinggi tegap, mata coklat, berbulu rebah. Begitulah aku—kemudian hari ia tahu bahwa aku seorang toke kerbau dan membuatnya kian bahagia. Ia tersenyum-senyum dengan berdiri di antara ibu, keluarga dan tamu. Ia menyatakan makin mencintaiku. Lalu diciumnya tanganku di antara senyuman tamu.
Hari itu tak ada yang memotret, tak ada kilatan sustel atau kamera digital, sesuai permintaan Nur, karena ia perempuan paling antikamera. Mungkin cuma dia perempuan antikamera di dunia ini.
Namun seketika itu, dua lelaki masuk rumah. Mereka seperti membawa kamera. Bergantung sesuatu di leher. Ia gamang. Juga aku. Tapi tamu malah senang. Siapa mereka? “Kami wartawan sebuah media lokal. Ingin mewawancarai kedua mempelai. Kami melihat banyak keunikan di sini. Dan cuma ada di sini! Apa boleh?” kata seorang di antara mereka.
Nur segera melepas tanganku. Keluar rumah. Ambil sandal. Ia lari. Aku panik sebentar. Aku, abangnya, dan beberapa orang kampung mengejarnya kemudian. Kami meliuk-liuk dalam sela-sela rimba sekitar kampungnya yang terpencil—sinyal hape saja susah dapat. Kami berteriak, memanggilnya.
Hari itu, aku sangat sedih dan seperti dihujam dengan timah panas di dada andai tak melihatnya lagi.
Tapi sejam usai mencari, akhirnya kami dapatkan juga. Tapi ah, Nur di bawah sana. Di atas batu besar di sisi jatuhnya air terjun yang menderu dan deras. Nur tergeletak kaku. Kami kemudian mendapatinya tak bernyawa, kepalanya berdarah. Padahal aku ingin sekali melantunkan Al-Quran bersamanya, apalagi dalam bulan Ramadhan. Demikian cerita ini, seperti diberitakan sebuah suratkabar tahun lalu.