Setelah
penyakit Ayah kambuh, keluarga kami menjadi limbung. Banyak kebutuhan yang
diperlukan. Belum lagi obat ayah yang bermacam-macam modelnya. Dan uang sekolahku
yang sudah menunggak tiga bulan yang lalu. Aku mempunyai seorang kakak
laki-laki tapi dia sibuk dengan dunia kerjanya. Aku tak bisa mengharap banyak
dari dia. Aku pun memutuskan untuk mencari kerja. Ya, setidaknya aku bisa
membayar uang sekolah sendiri.
Aku
pun melangkah tanpa ragu memasuki kawasan sekolah yang kubaca di koran sedang
membuka pekerjaan sebagai guru. Disana aku harus mendidik anak-anak tunarungu.
Aku mengajarkan mereka bagaimana cara membaca dan menulis. Sekolah itu
tergolong mahal. Siswa-siswa di sana memiliki segala perlengkapan, dicukupi
semua kebutuhan. Mereka mempunyai segalanya, kecuali ketidakdunguan.
Saat
libur tiba. Aku kira aku tak akan bertemu mereka lagi untuk sementara waktu.
Ternyata tidak, ada satu orang anak yang orang tuanya tak kunjung datang menjemput
karena alasan sibuk.Ya, mereka orang tua yang super sibuk. Mungkin kalian tak
akan percaya. Selama aku mengajar disini aku hanya sekali bertemu dengan orang
tuanya. Itu saja aku bisa menghitung berapa detik. Mereka diam saja dan tak
acuh. Selebihnya ketika liburan anak itu hanya menjumpai kesepian. Walau begitu
semangat jua yang mengantarkan ia dalam keramaian.
Pada
hari itu aku hanya duduk seharian memikirkan anak itu. Suatu kali aku iseng
bertanya, tentang keberadaan keluarganya. Ia hanya diam sambil mencoba membuka
lembaran-lembaran kertas. Saat itu aku tak berani menyinggung lagi tentang
keberadaan orang tuanya.
Gadis
kecil itu bernama Gendis. Rambutnya panjang tergurai rapi. Kulitnya putih
seperti keturunan Cina. Tapi matanya tidak begitu sipit. Walau kehidupannya
dijauhi oleh kasih sayang orang tua, tapi ia tetap selalu bersih dan cantik.
Gendis juga memiliki bakat dalam melukis. Disela-sela belajar ia selalu
mengajak binatang kesayanganya berbicara. Seolah-olah hanya kucing itulah yang
mampu menembus kesepiannya. Rasanya aku ingin mengajak dia pulang ke rumahku.
Aku
ingat, dulu pada saat seusia Gendis, setiap petang dari kejauhan suara ibu
telah terdengar olehku. Ia selalu memanggil-manggil kami untuk masuk rumah.
Padahal aku masih ingin bermain diluar bersama teman-temanku. Ibu tidak pernah
membiarkan kami makan sendiri-sendiri. Dia memerhatikan semuanya. Tapi Gendis?
Orang
tua Gendis memang misterius. Aku tidak tahu bertanya pada siapa sebab semua yang
kutanyai tidak berani menceritakannya. Maka ketika sekali aku menelpon Ibu,
kukabarkan padanya tentang segala kemisteriusan orang tua Gendis yang kaya itu.
Sudah kuduga ibu pasti akan banyak bertanya dengan penuh kecurigaannya.
Dari
ibu aku tahu, di tempat orang tua Gendis tinggal, pernah terjadi kekisruhan dimana
pribumi banyak membantai anak-anak tunarungu. Maka mereka mendiamkan semua
kedunguan anak-anaknya. Menyimpan anak itu ke suatu tempat yang jauh. Mereka
tidak akan menjenguk anak yang dititipkan sampai telah masanya anak itu boleh
pulang. Anak-anak dungu di kampung Gendis akan dibunuh. Kupingku mulai terasa
panas karena handphone yang begitu lama menjulurkan suara ibu. Aku mulai
terhenyak perihal gendis yang dungu.
***
*Ekawati,merupakan peserta kelas menulis Komunitas Jeuneurob angkatan 2.