Oleh Putra Hidayatullah
Sumber: Serambi Indonesia
|
northernstar.info |
MIRIS sekali mendengar kabar tentang dua gadis belia Aceh yang menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking). Keduanya dibawa ke Singapura, lalu dipaksa menjadi budak seks. Dua orang wanita berinisial Mi (19) dan Ay (19) diduga sebagai bagian dari gembong mucikari di negeri Kosmopolitan tersebut (Serambi Indonesia, Senin 23/1).
Sebelumnya kasus serupa juga pernah mencuat di Aceh. Aparat kepolisian Aceh Utara berhasil menangkap beberapa orang yang diduga menjadi pelaku. Seorang korban yang dibawa ke Malaysia mengirimkan sms kepada orang tuanya bahwa dia telah dijual dan dipekerjakan dengan tanpa gaji. Drama nyata perdagangan manusia ini memang bukan lagi persoalan baru. Ada beberapa kasus yang berhasil terkuak dan ada yang berjalan mulus tanpa hambatan.
Victor Malarek, seorang wartawan investigasi Kanada menuliskan dalam bukunya The Natashas: The New Global Sex Trade, tentang bagaimana seluk beluk dan proses trafficking ini terjadi. Secara garis besar, bentuk akhir dari human trafficking adalah perbudakan, pelacuran, dan kerja paksa. Praktik ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang cukup menggiurkan.
Peringkat ketiga
Tercatat bahwa bisnis perdagangan manusia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah perdagangan senjata ilegal dan obat-obatan terlarang. Dari seorang perempuan yang dieksplotasi, seorang mucikari bisa memperoleh keuntungan antara 75.000 hingga 250.000 dollar atau laba sekitar Rp 75.000.000 hingga Rp 250.000.000 dalam setahun.
Dalam buku yang sama dikutip pernyataan Willy W Bruggeman, agen intelijen polisi Uni Eropa, bahwa keuntungan yang didapatkan oleh para gembong perdagangan manusia seluruh dunia bisa mencapai 12 milyar euro per tahun.
Setidaknya ada empat gelombang besar dari jaringan perdagangan manusia di dunia. Victor menyebutkan bahwa gelombang jaringan terbaru beranjak dari Eropa Timur dan Eropa Tengah (The Fourth Wave), tepatnya pascaruntuhnya Uni Soviet sekitar tahun 1991. Setelah itu perlahan menjalar ke hampir seluruh negara-negara Asia dan Amerika.
Setelah Uni Soviet pecah dan terbentuk beberapa negara kecil, muncul ketidakberesan dalam pemerintahan, seperti banyaknya pejabat yang korup, budaya suap menyuap, serta birokrasi yang kacau, ternyata berpengaruh pula pada kehidupan sosial masyarakatnya. Dalam negatif pun muncul dalam kehidupan keluarga, banyak lelaki mabuk-mabukan, dan terlibat kriminal karena lapangan kerja yang tidak jelas.
Melihat kenyataan itu, lalu muncul sekelompok orang yang memanfaatkan gejala. Mereka menawarkan kesempatan untuk bekerja di luar negeri terutama bagi perempuan. Profesi yang ditawarkan beragam, mulai dari pelayan restoran, kasir, cleaning service, pekerja perusahaan dan sebagainya. Para korban dijanjikan untuk diberikan fasilitas yang lengkap dan gaji yang tinggi.
Di tempat pendaftaran tersebut para “perekrut” memilih mana yang lebih berpenampilan menarik dan layak. Terkadang iklan-iklan tersebut ikut menempelkan logo resmi negara semisal daun mapel jika negara yang dituju adalah Kanada. Ini dilakukan supaya para pendaftar menjadi lebih yakin dan percaya.
Budak seks
Setelah urusan administrasi keberangkatan dan tiba di negara tujuan, para perempuan itu dijual kepada penadah dan digunakan sebagai “mesin” pendulang uang. Seketika itu pula, perempuan-perempuan itu dipaksa menjadi budak seks.
Mereka diwajibkan melayani klien sebanyak-banyaknya agar cepat menghasilkan uang banyak. Seperti diungkapkan oleh seorang mafia sindikat trafficking: “Kamu bisa membeli satu perempuan seharga 10.000 dollar dan uangmu akan kembali dalam seminggu kalau dia muda dan cantik. Sesudahnya tinggal meraup untung.”
Korban trafficking ini akan dibebaskan oleh si “tuan” jika berhasil menggantikan modal (uang) yang dikeluarkan ditambah keuntungan dengan jumlah tertentu. Dalam praktik trafficking, pelaku mengharuskan perempuan-perempuan yang dibelinya segera mengembalikan uang yang telah dikeluarkannya dengan melakukan prostitusi.
Banyak sekali penderitaan yang dialami oleh seorang korban kasus ini. Tidak hanya mengalami tekanan dari “tuan” yang telah membeli mereka, tetapi juga mengalami kerusakan organ biologis, kecanduan alcohol, trauma, terinfeksi virus dan penyakit berbahaya lainnya. Di samping mereka juga mendapat stigma negatif dari masyarakat.
Para korban trafficking umumnya dengan mudah bisa dikelabui karena beberapa faktor. Di antaranya karena kurangnya keterampilan dan pendidikan dalam diri individu. Hal ini bisa diperparah lagi dengan himpitan ekonomi dalam keluarga yang membuat calon-calon korban baru lupa dan tidak belajar dari kenyataan-kenyataan yang pernah terjadi.
Solusi
Karena bisnis ini menggiurkan, sepertinya tidak ada negara mana pun yang aman dari praktik trafficking. Bisa jadi yang terjadi di Aceh adalah fenomena gunung es. Artinya, yang baru terlihat hanya satu kasus saja dan tak mustahil banyak kasus serupa lainnya yang belum terungkap.
Adanya beberapa jejaring sosial semisal facebook, twitter, dan lainnya semakin mempermudah para pelaku dalam menggaet korban. Untuk itu kita berharap pihak kepolisian bisa mengani kasus ini hingga ke akar-akarnya. Setiap iklan-iklan yang menggiurkan dan berbau trafficking harus benar-benar diawasi. Juga, memastikan bahwa tidak ada dari jajarannya yang disawer