Ghazal April
Hanya dalam puisi kata-kata jadi
gerimis
dan sepasang matamu adalah senja
yang khusuk membaca hujan.
Sebagai peziarah kata, tak apa-apa
sesekali tersesat. Aku pernah mencoba
menghitung anugerah
dan ternyata
telah lama jadi doa dan munajat
yang memberiku sejumlah sajak.
Hamparkan sajadahmu, sayang,
seumpama kau hamparkan
hidup dan mautmu tanpa beban.
Di dua matamu, waktu senanatiasa kagum
dan kuibaratkan burung-burung yang
hijrah
selepas hujan
adalah kau dan aku
nun saling merindu. Dan misalkan
aku terlelap di dadamu
itu lebih baik
ketimbang pikiran yang tak menemu kata
dan nama Tuhan yang hanya diteriakkan.
(SD, 2014)
Pengakuan
Di hutan-hutan malam alis matamu,
aku adalah angin yang singgah pada
daun.
Aku tulis senja pada dinding hujan,
kesepian menjegalku seperti badai yang
tiba-tiba.
Di kotaku saat kau datang, selepas
isya,
raut lampu dan gerimis yang antri
seperti senar-senar gitar yang kaupetik
berkejaran bersama baris-baris
sajak.
Seandainya, dengan keraguan atau
keikhlasan,
selalu dapat kucium aroma rambutmu.
Sebagaimana seorang ibu menitipkan
sejumlah kenangan anak lelaki
yang tak bahagia.
Begitulah kutulis sajak ini sebagai
kesaksian
saat aku selalu tahu
pada ketidakmengertianku
kenapa seorang lelaki acapkali memahami
tasbih musim dan zikir akhir Januari
sebagai sepi yang intim
di pelupuk magrib.
(SD, 2014)
Dalam Dingin Malam
Dalam dingin ini, seperti dalam
dingin-dingin
yang lain, aku pun terlena pada
sebentang sepi
yang tak beranjak. Tetapi seseorang
tengah bercerita
dan melangkah, teramat lambat dan
pelan.
Seseorang tengah menggenggam bara
di hatinya, panas dan dingin.
Seseorang tengah pergi, dan aku
tak sempat mencegahnya barang sejenak.
Seseorang tengah menyanyikan bait-bait
mimpinya,
dan aku tak ingin mengganggu jeda
nafas-nafasnya
yang lelap. Seseorang tengah memeluk
tubuhnya
sendiri, dan aku meninggalkannya dalam
diam.
(SD, 2005)
Ketika Gerimis Terus Berbisik
Dik, jika kaudengar gerimis berbisik,
buatlah secangkir kopi
dan bayangkan aku membacakan
baris-baris puisi untukmu
tentang apa saja. Tentang betapa sepi
sebenarnya hanya alegori
bagi sepasang bibirmu
yang mungil.
Sepasang matamu adalah kawah rimbun
bagi rindu,
dan sebelum maut menjemput, tak ada
salahnya
kita bayangkan sejenak engkau dan aku
seumpama Ariadne dan Theseus
saling menerka hari-hari kita
di lembar-lembar kertas.
Segala tentangmu adalah anugerah bagi
kata-kata,
sungguh aku ingin selalu jatuh cinta
pada rambutmu,
tanganmu, dan sepasang misteri di
dadamu.
Engkau adalah perumpamaan senja
yang rindang, sebelum malam
direbut kegundahan.
Ketika sepi jadi teramat runcing, dan
gerimis terus saja
berbisik, duh Adik, aku hanya
membayangkan
kau membuatkanku secangkir kopi,
dan aku menulis sebuah kegembiraan
seorang lelaki yang jatuh cinta
sekali lagi.
(SD, 2013)
Amsal Sajak
Jika kau adalah bahasa purba
yang menyimpan malapetaka,
aku adalah hujan
yang tak beranjak.
Jika kau adalah bayang-bayang
dari pepohonan dan cuaca,
aku adalah sebuah umpama.
Jika kau adalah laut dan tanjung
yang diceraikan ombak
dan karang, aku adalah seekor camar
yang riang melambung
dan membentang
sehabis gerimis siang
di antara gugusan bakau dan pantai.
Jika kau adalah kesedihan dan do’a
perempuan jalang
di sebuah sudut metropolitan,
aku adalah selampu bohlam
yang jadi tungku bagi lembab.
Bagi sepasang matamu,
aku adalah sebentang ingatan.
Di sejumlah sajak,
kau dan aku menjadi tiada.
(SD,2013)
Sulaiman Djaya lahir
di Serang, Banten 1 Januari 1978. Buku puisinya berjudul Mazmur Musim Sunyi
(Kubah Budaya 2013). Puisi-puisi dan esai-esainya dipublikasi media-media
nasional dan lokal. Acapkali diundang di acara sastra dan budaya tingkat
nasional dan bilateral.