“Kau ingat tentang Tara yang melukiskan senyum untuk Harry?”
Sinar mentari merambah terik di sela-sela ranting pepohonan. Mengibaskan kain kerudung yang terurai indah di kepala Tara lewat angin yang terhempas. Tara dan teman-temannya berdiri termangu menunggu kedatangan Harry di bawah pohon rindang yang ada di depan kelas mereka.
“Harry adalah teman yang baik. Tapi ia tak bisa menciptakan senyum untuk kita, bahkan untuk dirinya sendiri.”
Dengan paras yang kusam, Rira mentitahkan kalimat itu pada Tara. Sudah berulang kali kalimat itu berlabuh pada daun telinganya. Hal itu memang benar. Ia tak bisa memungkirinya. Tara hanya bisa tersenyum ketika mendengar ucapan tersebut dari Rira.
Seorang lelaki dengan memakai topi, berkacamata hitam, mengenakan baju yang tidak tersetrika mendekat ke arah Tara dan juga teman-temannya. Tara yakin kalau lelaki itu ialah Harry. Teman lelakinya yang mungkin tak pernah terurus. Bagi Tara, Harry adalah pria yang tampan. Hidungnya mancung, kulitnya putih, bertubuh tinggi, dan juga memiliki rambut seperti gaya artis Korea. Tapi sayang, ketampanan Harry hilang di mata Tara maupun teman-teman wanitanya yang lain hanya karena ia tak pernah tersenyum. Parasnya selalu saja kusut. Tak pernah tersenyum bahkan tertawa. Kadang Tara membatin, ada apa dengan Harry hingga ia bisa seperti itu. Dia selalu saja bersikap dingin pada siapapun termasuk pada Tara, teman sebangkunya dan juga tetangganya di rumah.
“Tara, yang lainnya mana? Kita sudah janji kan kalau siang ini kita latihan paskibraka sepulang sekolah!”
Harry mendelikkan matanya pada Tara. Pertanda bahwa Harry akan marah.
“Aku sudah memberitahu pada semuanya perihal itu. Tapi Aku juga tak tahu dimana mereka. Sudahlah Harry, sabar saja sebentar. Mungkin mereka sebentar lagi datang.”
Tara selalu berusaha bersikap lembut dan tersenyum pada Harry dalam keadaan apapun. Walaupun Harry tak pernah membalas semua senyum Tara. Disetiap suasana, Tara selalu mengharapkan senyum Harry. Karena baginya, Harry adalah sahabatnya. Dan ia ingin membuat sahabatnya itu merasakan kebahagiaan dengan senyum.
Lima belas menit berlalu, Tara melihat kegeraman pada wajah Harry. Harry memang anak yang cepat marah dan tak bisa banyak bersabar. Ia selalu saja bersikap kejam pada siapapun yang bersalah.
“Aku sudah muak menunggu yang lainnya. Mereka tak peduli untuk latihan ini. Jika mereka datang, akan ku marahi mereka satu persatu.”
Semuanya terdiam. Rasa takut mencekam batin Tara dan juga teman yang lainnya. Tak ada yang berani membantah perkataan Harry. Ya, Harry memang menjadi pemimpin mereka dalam paskibraka. Tapi bukan hanya semata-mata karena itu, Harry juga bisa menghardik setiap orang yang membantahnya.
Tiba-tiba saja, mereka yang kami tunggu kehadirannya muncul dengan tawa dan senda gurau yang membahana. Aldo, Bayu, Reza, Dian, Nida, dan juga Santi. Paras Harry yang semula tenang berubah menjadi merah padam tak karuan. Tara tak tahu apa yang akan dilakukan Harry pada mereka. Yang ada dalam pikiran Tara, bahwa Harry tak akan melakukan sesuatu yang berbahaya.
Harry melangkahkan kakinya menuju tempat Aldo, Bayu, dan Reza berdiri. Dengan rasa takut, Tara mencoba mengikuti langkah sahabatnya yang dingin itu.
“Dari mana saja kalian ini, hampir setengah jam kami menunggu kalian tanpa kepastian. Kalian pikir kalian bisa seenaknya bersikap seperti itu.”
“Harry, kamu tahu kan kalau ini sudah siang. Kami lapar. Butuh energi untuk latihan. Kamu tidak bisa seenaknya melarang kami begitu.”
Reza sangat suka membantah setiap kalimat yang keluar dari mulut Harry. Reza sama sekali tak menyukai sifat Harry yang seperti itu. Bukan saja Reza yang tak suka akan sikap Harry. Tapi semua teman yang tahu akan sifatnya yang seperti itu, tak akan pernah suka padanya selama ia tak merubah sikapnya itu.
Muka Harry semakin memerah. Tangannya digenggam sekuatnya. Tara memegang lengan Harry. Ia menghadap wajah Tara. Tara pun tersenyum melihatnya pertanda jangan teruskan kegaduhan ini. Dengan pelan, Harry melepas tangan Tara yang memegangnya. Lalu ia maju selangkah bertatapan dengan Reza.
“Baiklah kalau begitu. Karena aku peminpin di sini. Sekarang patuhi perintahku. Kalian semua yang merasa telat hadir pada latihan siang ini, berdiri berbaris di depanku dan keraskan perut kalian yang sudah terisi itu.”
Tara tak mengerti dengan apa yang dikatakan Harry. Tara dan teman-teman yang lain hanya bisa menyaksikan kemarahan Harry dalam bisu yang mencekam sampai ke urat nadi.
Aaaaa. Suara teriakan dari mulut Reza memecah keheningan. Harry baru saja mendaratkan pukulan genggaman tangannya tepat pada perut Reza. Reza jatuh terlentang di atas rerumputan dengan tangan yang memegangi perutnya itu. Disusul dengan teriakan dari Aldo dan juga Bayu yang mengalami nasib yang sama seperti Reza. Mereka bertiga merintih kesakitan karena tonjokan Harry di perut mereka. Aldo, Bayu, dan juga Reza merintih kesakitan dan berteriak-teriak tak karuan, tak sanggup menahan perihnya. Dian, Nida, Santi beserta yang lainnya mengangkat mereka bertiga ke koridor kelas. Rira memegang erat lengan Tara yang kaku tak tergerak. Mereka berdua sama sekali tak beranjak dari tempat dimana mereka melihat peristiwa sadis itu. Tara tak tahu harus bersikap bagaimana dengan kejadian yang baru saja ia lihat. Harry melakukan sesuatu yang tak pernah Tara pikirkan. Harry yang menjadi pemimpin paskibraka menonjok perut temannya sendiri hanya karena suatu kesalahan kecil.
Harry berdiri mematung di tempat ia melakukan perbuatan keji itu. Tara memandangnya dari jauh. Tara tak tahu apa yang dirasakan Harry saat ini. Tara benar-benar bingung dengan kondisi seperti ini. Tara sangat marah pada Harry atas perlakuannya itu pada Reza, Bayu, dan Aldo. Ia melepas tangan Rira yang mencengkeram tangannya. Ia melangkah ke tempat Harry dengan rasa kesal yang teramat sangat.
“Paaaammm… Puas kamu Harry dengan apa yang kamu lakukan tadi. Lihat mereka di sana. Mereka kesakitan karena ulahmu yang tak pernah mau mengerti keadaan. Kamu selalu saja egois. Aku benci sama kamu Harry. Selama ini aku selalu saja lembut dan tersenyum padamu di setiap kelakuanmu. Baik itu menyenangkan atau tidak. Aku ingin kamu bisa tersenyum seperti lelaki yang lain. Aku selalu berusaha akan itu. Tapi siang ini, Aku tak akan bersikap seperti itu lagi pada kamu Harry. Aku tidak pernah mau lagi tersenyum padamu. Aku menyesal telah bersifat baik padamu. Aku benci kamu Harry.”
Tara menampar pipi Harry. Ia menangis dan lari meninggalkan Harry. Harry terdiam dalam kebingungannya. Ia menatap Tara yang pergi meninggalkannya. Rira menghiraukan Harry yang tak berkutik. Ia membantu temannya yang lain membawa Aldo, Bayu, dan Reza ke UKS.
Sementara, Tara mengambil sepeda motornya di parkiran sekolah. Ia mengendarai sepeda motornya dengan kebencian dan tangis yang membahana. Seketika, Tara kehilangan konsentrasinya. Sepeda motornya menabrak trotoar dan ia terpelanting ke sudut jalan dengan kepala bersimbah darah. Masyarakat disekitarnya langsung membawa Tara ke rumah sakit terdekat. Tapi sayang, nyawa Tara tak tertolong karena kepalanya mengeluarkan banyak darah.
Harry dan teman-teman yang lain yang masih berada di sekolah sama sekali tak mengetahui kejadian yang menimpa Tara. Setelah Tara pulang, Harry juga pulang. Ia tak peduli terhadap apa yang ia lakukan. Tapi syukurlah, Rira menelepon Harry dan mengabarkan kalau Aldo, Bayu, dan Reza baik-baik saja.
Keesokan paginya, tersiar kabar seantero sekolahan bahwa Tara sudah meninggal sepulang sekolah kemarin akibat kecelakaan. Harry mendengar kabar tersebut tanpa rasa bersedih. Ia tetap menjadi seorang Harry yang dingin dan tak punya rasa apa-apa. Sekarang dan untuk hari-hari berikutnya, ia akan duduk sendiri tanpa Tara.
“Harry, kamu sudah dengar kan kalau Tara meninggal? Apa kamu tidak merasa kehilangan? Selama ini Tara menganggap kamu sebagai sahabatnya. Tara selalu ingin membuat kamu tersenyum. Membahagiakanmu dengan senyum yang terlukis di bibirnya. Kamu ingat kalau Tara selalu melukiskan senyum untukmu? Di setiap keadaan senyum Tara selalu untukmu Harry. Walaupun kamu bersikap dingin, marah atau sebagainya senyum Tara tak pernah pudar. Ia sangat ingin melihat kamu tersenyum Harry.”
Rira mengutarakan semua itu dengan bergebu-gebu. Ia sangat kehilangan Tara. Setelah ia mencoba menyadarkan Harry atas sikapnya selama ini, ia pergi dan menjauh dari Harry. Harry hanya bisa termenung memikirkan perkataan Rira.
Seharian setelah kabar itu tersiar, seluruh penghuni sekolah membicarakan tentang perginya Tara dan kejadian yang terjadi kemarin siang. Termasuk seluruh teman Harry yang sekelas dengannya. Harry sama sekali tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Dengan amarah yang tinggal di ujung tanduk, ia melangkah keluar dari kelas menuju tempat dimana ia terakhir kali bertemu dengan Tara. Di tempat itu, ia duduk termangu menatap langit yang cerah.
“Tara, Aku tahu bahwa kamu sudah tenang di alam sana. Tapi jujur, hari ini dan untuk selamanya Aku takkan pernah lagi melihat senyummu. Aku merindukan kehadiran dan senyummu Tara.”
Tak ada yang mendengar titah Harry kecuali malaikat dan juga Allah. Harry bangun dari tempatnya dan berjalan untuk mencari Rira. Sepanjang koridor kelas, ia berusaha mencari Rira tapi tak ditemuinya jua.
“Ra, apa kamu mau menemaniku untuk berziarah ke makam Tara? Aku mohon!”
“Mau apa kamu ke makam Tara, ingin membuatnya semakin sedih akibat kelakuanmu?”
“Tidak, Ra. Sungguh. Aku ingin membahagiakan Tara. Kamu mau, kan ?”
“Baiklah. Sepulang sekolah, ku tunggu di sini.”
“Terima kasih Rira.”
Harry membalikkan badannya dan menuju ke kelasnya kembali. Hatinya mungkin sedikit tenang karena Rira mau menemaninya. Tapi, bibirnya belum juga bisa menciptakan senyum. Sepulang sekolah, Harry dan Rira berangkat bersama menuju makam Tara menggunakan mobil Harry. Sesampainya di pemakaman tempat Tara terbaring dengan damainya, Harry berjongkok di sampingnya. Lalu tak disangka, air mata Harry menetes membasahi pipinya.
“Tara temanku, maafkan Aku. Aku yang menyebabkan kamu meninggal. Aku menyesal atas perbuatanku Ra. Sekarang Aku tahu, bahwa selama ini kamu adalah seorang teman yang sangat menyayangiku, kamu selalu ingin membuat Aku bahagia dengan senyummu. Tapi Aku tak pernah menyadari hal itu Ra. Aku sama sekali tak pernah menghargai senyummu untuk kebahagiaanku. Sekarang, Aku sadar, hariku hampa tanpa kehadiran seorang teman sepertimu. Tara, Aku merindukan senyummu. Aku merindukanmu Tara. Aku berjanji, mulai detik ini Aku akan tersenyum, mengubah segala sikapku, dan menjadi Harry yang lebih baik dari sebelumnya. Disetiap munajatku, Aku akan selalu menghadiahkan seuntai senyum untukmu. Aku menyayangimu Tara.”
Rira mengusap-usap pundak Harry. Harry pun menghapus air matanya dan tersenyum pada Rira. Setelah berdoa dan menaburi bunga untuk Tara, mereka berdua bangkit dan pulang. Meninggalkan Tara yang sedang tersenyum di alam sana karena melihat Harry tersenyum.
Keesokan harinya, Harry menepati janjinya pada Tara. Ia memulai pagi dengan senyum dan menjadi seorang Harry yang lebih baik dari hari sebelumnya. Semua temannya bangga dan senang atas perubahan Harry. Sehari setelah Tara pergi, Harry tak lagi sendiri. Ia memiliki teman yang banyak karena keramahan dan sikapnya yang baik.
Disetiap suasana, Harry berjanji akan senantiasa tersenyum untuk Tara. Sama halnya seperti Tara yang selalu melukiskan senyum untuk Harry. Dalam batinnya, ia selalu merasakan bahwa Tara masih ada di sampingnya. Karena baginya, Tara adalah senyum yang tak akan pernah hilang walau di telan asa.
Fira Al Haura, siswi SMA 3 Banda Aceh kelas X-I. Tercatat sebagai pelajar di Sekolah Menulis Remaja-Jeuneurob angkatan pertama.