Kamis, 29 September 2011

Surat darinya untuk ibu

Oleh: Rahmad Nutihar
Sumber: Kompasiana 

Terdiam sendiri dalam keheningan malam, sapa sang bulan basuh keningku. Keseharian ku dipenuhi dengan aktifitas yang melelehkan dan kini kurebahkan tubuhku diatas kasur. Sebagai pengusir kepenatan juanya ku mengambil secarik kertas yang berada di rak buku. kemudian kutumpahkan tinta dipermukaannya. pena lama dan tak lazim digunakan ku pakai untuk menulis di secarik kertas itu. seraya menulis sepucuk surat tapi tak jelas akan kusurati kemana. Kata demi kata kususun hingga menjadi sebuah kalimat. Serentetan huruf telah membanjiri kertas, tanpa terasa jelang beberapa saat kemudian lembar kertas itu penuh terisi dengan tulisan yang tidak jelas. Tak ayalnya genggaman tanganku tidak bisa memisahkan diri dari pena itu. Pena berdawat hitam tepatnya adalah kini merasuki jiwaku memaksa untuk mengerakkannya membentuk aksara hingga di judul atas tertulis
surat untuknya.
Masih saja ku sendiri ditemani dengan kunang – kunang sebagai penerang malam buta. Kumatikan lampu yang berpijar di atas meja, menantikan sekumpulan kunang – kunang menerangi tempat ku ini. Sesekali binatang penghasil cahaya itu terbang mengeburungi kearahku namun ku enggan mengusirnya dan kubiarkan saja dia terbang bebas kemana yang dia suka.
Seekor kunang – kunang yang berukuran besar hinggap diatas surat yang sedari kutulis namun belum sempat terselesaikan. Terlihat sayap halusnya bergerak menulusuri tiap kata seperti sedang mengeja huruf yang kutulis, dianya semacam menafsirkan makna yang tersirat yang termuat dalam tulisan. Hal serupa dilakukan teman – teman lainnya hingga memenuhi seluruh permukaan kertas itu. Ya, cahayanya menjadi terang benderang terpancarkan ke segala sudut. Surat itu kini bisa terbaca olehku tanpa perlu menghidupkan lampu lagi.
Timbul rasa penasaran dalam hatiku, “mengapa binatang ini betah hinggap dikertas ini”. Padahal kutau kertas itu adalah kertas usang yang telah lama terbuang dan tak lagi digunakan. Mungkinkah dawat pena yang menyebabkan itu semua. ? tak sedikitpun aku menaruh curiga jika nantinya terjadi sesuatu hal yang aneh dikehidupan ini. Bagiku itu hal yang biasa kunang – kunang hinggap dalam lembaran kertas karena tidak tau kemana arah dia akan tebang.
**
Pagi harinya, ketika aku bangun dari tidur dan langsung saja menoleh pandanganku kearah meja yang berada disisi kanan ranjang. Tentunya kertas itu yang membuat aku penasaran dan terjaga semalaman. Batinku ingin sekali mengetahui hal apakah yang terjadi selanjutnya pada secarik kertas itu. Setelah bola mataku bisa terbuka penuh, kini seluruh pandanganku tertuju pada surat yang semalam aku tuliskan. Kertas itu masih dalam keadaan utuh dan tak selusuh kertas yang semalam aku tuliskan. Tulisan itu menjadi rapi beda halnya dengan tulisan sedia kala. Mungkinkah kunang – kunang itu penyebabnya. ? ah, nisbi mereka merupakan binatang yang tak memiliki akal dan pikiran seperti manusia. Siapa saja bisa menempatkan surat itu diatas meja tanpa sepengetahuanku.
Aneh rasanya, setelah membaca dengan seksama dan mengingat kembali mengenai kata – kata yang kutuliskan di atas kertas malam hari yang lalu, jelas berbeda dengan surat yang sedang aku bacakan. Surat ini seperti surat balasan yang kuterima dari seseorang dan tak tertera siapa pengirimnya. Perasaanku berubah menjadi tiada karuan, aku terdiam dan tercengang dengan pandangan menatap langit – langit rumah. Kembali mengingat isi surat yang telah kubaca.
“semalam aku telah membaca surat yang kamu tuliskan, bersama ini kuucapkan terimakasih karena kau telah membebaskan aku dari belenggu yang mengikatku selama ini. Tak perlu kau bertanya siapa sosok diriku sebenarnya namun perlu kau tau aku adalah yang selama ini bersemayam didalam pena tua yang kau gunakan semalam”.
Aku memutuskan untuk menceritakan pada sang ibu, karena kuyakini dia tau pasti mengenai kejadian yang barusan ku alami. Langkah kakiku menapaki ubin menuju arah kamar sang ibu. Pintu kamarnya tekunci rapat dari luarnya aku mencium bau kemenyan yang sedang dibakar. Bau itu menyebar dan terasa menyengat dihidungku.
“Tok…tokk. Bu, ini fahmi tolong keluar sebentar”!
Tak lama kemudian sang Ibu keluar dengan mengenakan baju hitam tanpa bejilbab. Usianya telah menua seiring silih bergantinya tahun. Sang ibu enggan memulai pembicaraan dan aku jualah yang pertama menyapanya.
“Bu, semalam fahmi mengalami kejadian yang aneh, fahmi mendapat sepucuk surat balasan manakala fahmi sendiri tidak mengirimkannya sama sekali”.
“Trimakasih nak, kau telah mengakiri nyawaku” !
Lalu ibu bergegas memasuki kamar hitamnya itu.
Sebuah tanda tanya besar dalam benakku, mengenai kata yang diucapkan sang ibu mengapa dia mengucapkan terimakasih padaku, setaku. Aku tidak berbuat apa – apa untuknya. Aku enggan berteman dengan ibu karena dia sang pemuja setan yang berpenghasilan dari menerawang dunia hitam untuk memberikan angka – angka kepada pemuda yang malas bekerja.
Malam hari selanjutnya, aku berharap tiada kejanggalan yang akan tejadi dimalam yang indah ini, rembulan begitu berisi dengan cahayanya penuh, binarannya utuh terpancarkan kedunia tanpa ada yang menghalanginya. Aku duduk termenung mengarahkan pandanganku keluar jendela mencari suasana segar menikmati bunyi sayup – sayupan lambaian pohon.
Terlintas di pandanganku kunang – kunang mengarah ke kamar ibu, mereka berbaris rapi dengan seorang komando berada pada barisan yang awal. Cahaya dari tubuh kunang – kunang semakin terang setelah sang bulan menyembunyikan diri untuk menerangi bumi. Terlihat dengan jelas langkah kepakkan sayapnya kini memasuki kamar ibu dengan melewati celah – celah fentilasi rumah.
Masih saja aku terduduk di sebuah kursi dengan senderan yang empuk, tiada menaruh curiga akan terjadinya peristiwa yang aneh. Aku memilih memejamkan mata secepat mungkin kiranya menepis segala anggapan sinis tentang hal yang menimpa diriku selama ini.
Tiba – tiba cahaya dari lampu kamar perlahan semakin meredup, dan kini segala penerang dalam ruangan ini telah padam. Hanya kunang – kunang yang berterbangan mutari tiap sudut kamar, bau amis terasa menyengat mengerasa di hidungku, seperti bau bangkai yang telah lama membusuk. Kawanan binatang ini mulai menjauh dari kamarku. Suasana berubah menjadi seram. Jelang beberapa saat mereka menjauhkan diri, listrik kembali menyala. Seluruh isi ruanganpun bisa terlihat dengan pandanganku.
***
Pada pagi hari kedua setelah kejadian aneh menimpa diriku, ku merasakan pagi ini terlalu indah untukku, aku kembali ke tempat tidur guna menikmati hari dalam dunia mimpi. Sungguh perasanku rindu akan sosok ibuku yang sebenarnya pada beberapa tahun silam, namun setelah peristiwa maut yang menimpa keluarga kami, yakni ayahku ditembak mati oleh orang tak dikenal pada suatu malam. Ibuku memilih untuk membalas dendam kepada pembunuh ayahku, namun setelah menggeluti dunia hitam dia bisa memisahkan diri dari tuntutan yang mengikatnya.
Ah, bagaimana kabar ibu didalam kamar ? sedang apa dia disana, mengapa anak satu – satunya ini tidak pernah dia pikirkan dan memilih tetap berada dalam kamar tiba – tiba aku merasa begitu cemas, setelah aku aku mencium bau busuk dari kamar sang ibu. Aku berjalan dengan gerak tubuh sempoyongan memaksakan diri tetap berjalan, moga saja saja tidak terjatuh. Lalu aku mengentuk pintu kamar.
Tok..tok..tokk.
Sang ibu tidak menjawab, aku menunggu beberapa menit namun tak jua ada petanda jawaban darinya. Kesabaran ku telah habis untuk menunggunya keluar. Kukerahkan segenap tenaga mendobrak pintu kamar. Doub…doub.. pintu itupun terbuka. Pemadangan yang tak layak aku saksikan oleh mata kepalaku dan kini Tangisanku memecah sesaat mendapati jasad ibuku yang tiada bernyawa. Tubuhnya telah membusuk dimakan oleh sang belatung. Oh tuhan mengapa ini semua menimpa ibuku. Mafkanlah dirinya. Dan jangan Kau biarkan orang lain mengetahuinya selain diriku. Allah

0 komentar:

Posting Komentar