Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 15 Agustus 2011
Ada ritual baru yang seolah menjadi sebuah kewajiban bagi orang kita bila bulan Ramadhan telah datang. Ritual tersebut dikenal dengan buka puasa bersama, kerennya disebut Bubar atau jika dipanjangkan menjadi buka bareng.
Kegiatan ini biasanya dilakukan bersama sejawat sepekerjaan, seorganisasi, kawan lama, kawan baru, seruang kuliah, sefakultas, sekelas, sesekolah, seasal, dan masih banyak se-lainnya. Yang pasti, boleh dikata tidak ada yang melaksanakan Bubar dengan orang yang bukan se- dengannya.
Selaku orang yang memiliki banyak se-, Pengko memiliki kesibukan baru selama bulan Ramadhan ini. Ia diajak kawan se-se-nya. Dari mulai kawan sekelasnya dulu hingga kawan diskusinya yang baru. Ketika pulang ke kampung, ia diajak pula oleh pemuda dan beberapa kawan seasal sekolahnya untuk Bubar. Ia tak enak hati menolak ajakan kedua kelompok tersebut. Sebab, di kelompok pemuda Wak Lah yang mengundangnya, sedang di kelompok kawan sesekolahnya ia diajak oleh Zainab, gadis cantik mantan ketua kelasnya yang dulu sempat merayu-rayu Pengko yang rupawan itu.
Sungguh dilema sebenarnya. Pengko sekarang sedang tak punya banyak uang, sedangkan saat Bubar ia mesti menginfakkan 20 ribu. Namun, selaku anak keturunan Raja Persia, Pengko diringankan oleh uang dari orang tuanya. Maka ia segera melunasi infaq tersebut. Pada Wak Lah diberikannya setengahnya dulu, sebab ia tahu betul siapa Wak Lah. Bisa-bisa uang infaq dari Pengko untuk membeli nomor buntut. Namun pada Zainab, Pengko memberikan infaq lunas.
Pada hari H Bubar dengan kawan sekelasnya, Pengko datang agak terlambat. Ia seharian sibuk membagi-bagikan makanan untuk anak-anak yatim kampungnya. Sungguh, jika ditilik lebih dalam, memberi makan untuk anak yatim berbuka jauh lebih baik daripada mengadakan Bubar di mana-mana. Ia membayangkan kembali seberapa banyak uang yang telah ia habiskan untuk acara Bubar sejak malam pertama puasa hingga malam kemarin. Sungguh jika uang itu digunakannya untuk berbuka sendiri tentu 20 ribu akan lebih. Bayangkan jika uang lebih itu diberikannya untuk anak yatim, tentu mereka akan merasakan nikmat yang lumayan pada tiap harinya.
Ketika Pengko tiba, Zainab telah berdiri di muka pintu dan tersenyum. Begitu Pengko masuk ruang acara, seluruh gadis membekap mulut mereka. Semua terpana menatap Pengko yang sangat tampan rupawan datang. Dengan sangat percaya diri lelaki keturunan raja Persia itu melangkah ke tempat yang telah disediakan untuknya. Sepanjang proses Bubar masih saja gadis-gadis sekelasnya dulu itu terpana-pana. Sungguh tampan tak alang kepalang pemuda itu, apalagi dalam suasana selalu berwudhuk, mukanya semakin bersinar.
Malam besoknya ia menghadiri pula acara Bubar dengan partai Wak Lah. Di sini ia datang lebih cepat karena ia terlibat sebagai panitia. Namun, sejam sebelum berbuka puasa, ketika ia hendak mengambil ambal di gudang masjid, Pengko terperangah menemukan Wak Lah sedang mencicipi kue bawaan pemuda lainnya di sana. Dengan tersenyum malu Wak Lah berkata, usah risau, kawanku, tadi siang waktu aku mengejar kerbau yang hendak masuk sawahku, jatuh pula aku dalam kubangan, airnya masuk ke mulutku dan terteguk, tentu batal puasaku, bukan?
Pengko paham betul kawannya itu. Padahal, jika memang hal itu benar terjadi dan tanpa sengaja Wak Lah terminum air kubangan, tentu Tuhan akan memaafkannya dan puasa Wak Lah masih sah. Namun, itu cerita tentu rekayasa Wak Lah semata, padahal memang ia tidak puasa.
Ketika isyarat berbuka puasa berbunyi, Pengko melihat Wak Lah sudah duduk rapi di dekat imam masjid dan dengan khusyuk mengaminkan doa berbuka yang dibaca sang Imam. Ketika imam bertanya padanya apakah ia puasa, Wak Lah menunjukkan bibirnya yang kering. Kering bibirnya itu padahal disebabkan oleh rokok yang baru dihisapnya sesaat sebelum had berbuka tiba. Itulah, orang tak puasa pun rupanya jika tiba waktu buka ikut berbuka seperti orang yang berpuasa, malah jika membaca doa berbuka ia lebih khusyuk. Memanglah!
Kegiatan ini biasanya dilakukan bersama sejawat sepekerjaan, seorganisasi, kawan lama, kawan baru, seruang kuliah, sefakultas, sekelas, sesekolah, seasal, dan masih banyak se-lainnya. Yang pasti, boleh dikata tidak ada yang melaksanakan Bubar dengan orang yang bukan se- dengannya.
Selaku orang yang memiliki banyak se-, Pengko memiliki kesibukan baru selama bulan Ramadhan ini. Ia diajak kawan se-se-nya. Dari mulai kawan sekelasnya dulu hingga kawan diskusinya yang baru. Ketika pulang ke kampung, ia diajak pula oleh pemuda dan beberapa kawan seasal sekolahnya untuk Bubar. Ia tak enak hati menolak ajakan kedua kelompok tersebut. Sebab, di kelompok pemuda Wak Lah yang mengundangnya, sedang di kelompok kawan sesekolahnya ia diajak oleh Zainab, gadis cantik mantan ketua kelasnya yang dulu sempat merayu-rayu Pengko yang rupawan itu.
Sungguh dilema sebenarnya. Pengko sekarang sedang tak punya banyak uang, sedangkan saat Bubar ia mesti menginfakkan 20 ribu. Namun, selaku anak keturunan Raja Persia, Pengko diringankan oleh uang dari orang tuanya. Maka ia segera melunasi infaq tersebut. Pada Wak Lah diberikannya setengahnya dulu, sebab ia tahu betul siapa Wak Lah. Bisa-bisa uang infaq dari Pengko untuk membeli nomor buntut. Namun pada Zainab, Pengko memberikan infaq lunas.
Pada hari H Bubar dengan kawan sekelasnya, Pengko datang agak terlambat. Ia seharian sibuk membagi-bagikan makanan untuk anak-anak yatim kampungnya. Sungguh, jika ditilik lebih dalam, memberi makan untuk anak yatim berbuka jauh lebih baik daripada mengadakan Bubar di mana-mana. Ia membayangkan kembali seberapa banyak uang yang telah ia habiskan untuk acara Bubar sejak malam pertama puasa hingga malam kemarin. Sungguh jika uang itu digunakannya untuk berbuka sendiri tentu 20 ribu akan lebih. Bayangkan jika uang lebih itu diberikannya untuk anak yatim, tentu mereka akan merasakan nikmat yang lumayan pada tiap harinya.
Ketika Pengko tiba, Zainab telah berdiri di muka pintu dan tersenyum. Begitu Pengko masuk ruang acara, seluruh gadis membekap mulut mereka. Semua terpana menatap Pengko yang sangat tampan rupawan datang. Dengan sangat percaya diri lelaki keturunan raja Persia itu melangkah ke tempat yang telah disediakan untuknya. Sepanjang proses Bubar masih saja gadis-gadis sekelasnya dulu itu terpana-pana. Sungguh tampan tak alang kepalang pemuda itu, apalagi dalam suasana selalu berwudhuk, mukanya semakin bersinar.
Malam besoknya ia menghadiri pula acara Bubar dengan partai Wak Lah. Di sini ia datang lebih cepat karena ia terlibat sebagai panitia. Namun, sejam sebelum berbuka puasa, ketika ia hendak mengambil ambal di gudang masjid, Pengko terperangah menemukan Wak Lah sedang mencicipi kue bawaan pemuda lainnya di sana. Dengan tersenyum malu Wak Lah berkata, usah risau, kawanku, tadi siang waktu aku mengejar kerbau yang hendak masuk sawahku, jatuh pula aku dalam kubangan, airnya masuk ke mulutku dan terteguk, tentu batal puasaku, bukan?
Pengko paham betul kawannya itu. Padahal, jika memang hal itu benar terjadi dan tanpa sengaja Wak Lah terminum air kubangan, tentu Tuhan akan memaafkannya dan puasa Wak Lah masih sah. Namun, itu cerita tentu rekayasa Wak Lah semata, padahal memang ia tidak puasa.
Ketika isyarat berbuka puasa berbunyi, Pengko melihat Wak Lah sudah duduk rapi di dekat imam masjid dan dengan khusyuk mengaminkan doa berbuka yang dibaca sang Imam. Ketika imam bertanya padanya apakah ia puasa, Wak Lah menunjukkan bibirnya yang kering. Kering bibirnya itu padahal disebabkan oleh rokok yang baru dihisapnya sesaat sebelum had berbuka tiba. Itulah, orang tak puasa pun rupanya jika tiba waktu buka ikut berbuka seperti orang yang berpuasa, malah jika membaca doa berbuka ia lebih khusyuk. Memanglah!
0 komentar:
Posting Komentar