Sabtu, 08 Oktober 2011

Keumala

Oleh :Zahra Nurul Liza
Sumber: Serambi Indonesia, Minggu 9 Oktober 2011


MATAHARI duduk manis di singgasana langit. Menerangi bumi yang sungguh pelik. Pancaran panas amat menyengat. Syair yang sejuk pun tidak bisa membunuh penat. Walau sebenarnya hari tinggal seperempat. Tiap paras melukiskan kepiluan dan kegembiraan tentang diri sendiri. Tiap badan hanya sanggup untuk menanggung beban sendiri. Tiap mata hanya bisa memancarkan nasib sendiri. Semuanya serba sendiri. Anai-anai pun menari-nari sembari melahap hidangan lezat dengan bangsa sendiri. Menikmati siang yang
tinggal sebentar lagi. Sebab petang sudah menepi.

Duduk di ayunan adalah pilihan. Mengisi waktu untuk menciptakan sedikit kenangan. Kenangan yang nantinya akan dikenang dan mungkin juga akan ditulis dengan pena sebatang. Orang yang berlalu lalang adalah pemandangan. Yang memamerkan berbagai raut wajah penuh kenangan. Tapi, tetap harus berhati-hati dalam artian sesekali harus melihat tali yang mengikat ayunan pada pohon sebatang. Jangan sampai putus dan menghancurkan semua kenangan di tengah jalan.

Sedikit tercengang ketika Keumala hadir di hadapan. Menceritakan kegembiraan hati sembari tertawa riang. Dengan dandanan yang begitu cantik dipandang, hanya bagi dirinya sendiri maksudnya. Rambut Keumala tertutup oleh kerudung kuning keemasan yang agak miring dikenakan. Maklum Keumala tidak lebih mengerti akan dandanan.

Keumala yang sebenarnya sudah berumur empat puluh enam tahun itu masih bak gadis tujuh belasan. Sayang, belum sempat Keumala menceritakan kegembiraan hatinya itu. Sebab azan telah berkumandang pertanda dialog dengan Tuhan. Dengan polos Keumala mengajakku sembahyang.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku melihat Keumala shalat. Hanya saja untuk pertama kalinya aku memperhatikan dia shalat. Sebetulnya ini bukan untuk pertama kalinya aku bertemu Keumala. Hanya saja baru-baru ini aku menaruh perhatian lebih padanya. Ah, tanpa kusadari, Keumala telah sedari tadi memperhatikanku dengan sifatku ini.

Kubiarkan Keumala shalat lebih dulu. Maklum, mukena hanya satu. Jadi, haruslah aku menunggu Keumala selesai shalat dulu. Benar-benar aku tidak pernah mempedulikannya selama ini. Kukira selama ini Keumala shalat penuh khusyuk dan rapi. Tapi, ternyata tak seperti yang diduga. Tak ada doa dalam shalat Keumala. Bibir terkunci rapi. Hanya sesekali tersenyum ketika melihat diriku ini. Ya, Ketika shalat mata Keumala menari melihat ke sana ke mari. Hingga ketika mataku dan matanya saling memandang dia akan tertawa seperti sedang tak shalat lagi. Selain itu, Keumala shalat tak hitung rakaat. Karena memang dia tak bisa baca dan hitung. Walau demikian, aku bangga pada diri Keumala. Dengan kekurangan yang terus mengelilingi sekitar pinggang. Dia tetap tak pernah melupakan Tuhan. Walau sebenarnya tak tahu cara memuja Tuhan.

Setelah shalat, Keumala hendak mulai melanjutkan ceritanya lagi. Walau sebenarnya belumpun dimulai dari pertama kali. Sembari tersenyum-senyum sendiri dia mulai menceritakannya untuk yang pertama kali. Ya, dia bercerita tentang seorang pria bak seperti gadis usia dua belasan tengah jatuh cinta. Dengan penuh riang gembira dia menceritakannya. Aku pun mendengar dengan rasa penasaran yang merajalela. Tak kusangka dan tak kuduga. Dia jatuh cinta pada seorang pria yang saban hari menghabiskan waktunya di mushalla. Entah benar-benar dia mengerti akan arti cinta. Yang jelas dia sudah merasakannya.

***

Kini petang telah kembali menemani. Sebab siang telah mulai pergi. Sebentar lagi malam merajai. Kali ini sepi sendiri. Tak ada Keumala, tak ada kenangan lagi. Keumala telah pergi. Tapi, bukan maksudku pergi dan tak kembali. Seperti biasa yang terjadi setiap petang seperti ini dia acap keluar dan pergi. Walau tak jauh pergi dari sini. Ya, dia pergi sejenak ke lapangan bola kaki. Hanya sekadar lewat untuk melihat si pujaan hati. Seperti biasa yang terjadi. Setelah pulang dari sana, dia akan membawa banyak cerita. Entah kisah nyata atau hanya angan yang tercipta. Bukan bermaksud untuk meragukan ceritanya. Tapi, pernah suatu ketika aku pergi bersamanya. Walau tak jauh sebenarnya.

Sore itu aku hendak pergi hanya sekadar untuk berkeliling kampung ini. Ditemani Keumala, sebab aku malas apabila seorang diri. Terlihat jelas dari raut wajah betapa senangnya hati. Kebetulan kami melewati mushalla itu, tempat pujaan hati Keumala menghabiskan hari. Kebetulan pula, si pria berkulit sawo matang itu sedang di luar seorang diri. Tapi sayang, hanya senyum yang dipersembahkan. Walau begitu Keumala senang bukan kepalang.

Beda umurku dengan umur Keumala memang jauh. Tapi, tak terasa jauh. Walau bedanya mencapai angka tiga puluh. Aku juga salut pada Keumala, walau tanpa perawatan khusus dia memiliki raut wajah yang mulus. Putih kulitnya kadang juga membuat orang iri. Apabila kita melihatnya dari raut wajah maka sama sekali tak tampak seperti orang yang hampir berumur setengah abad. Itulah keadilan Rabbi.

Sekarang Keumala mulai lagi mencoba menceritakan kembali kisah tadi. Dengan sedikit tambahan yang terjadi di sana sini untuk membanggakan diri sendiri. Bukan maksudku untuk katakan kalau tak ada pria yang suka padanya. Tapi, waktu yang bersamaan aku lagi bersamanya. Jadi aku tahu persis bagaimana kejadiannya. Oleh sebab itu aku tahu jujur atau bohong yang lahir dari mulutnya. Tapi, tetap tak kupermasalahkan itu semua. Dengan setia aku akan tetap mendengar curahan hatinya. Aku mengerti bagaimana rasanya sedang jatuh hati. Bagaimana rasanya saat masa-masa remaja yang kuhadapi. Tapi, yang tak habis pikir masa itu terlambat datang pada diri Keumala. Mungkin karena penyakit keterbelakangan mental pada dirinya. Aku memakluminya dan kuanggap itu adalah kelebihan pada drinya. Semoga saja Keumala senang dan bahagia dengan cinta yang dimiliki dari dasar nurani. Walau sebanarnya aku iri. Iri karena ingin memilikimu di sepanjang hidup ini. Kekuranganmu akan kuanggap kelebihan dari Rabbi.

***

Mobil perlahan terus berjalan. seakan tak ingin mengerti bahwa hati masih ingin di sini. Agar selalu bisa melihat senyuman dan tawa riang Keumala itu sepanjang hari. Walau tak mungkin memilikinya seutuh diri ini.

Banda Aceh, 15-09-2011

0 komentar:

Posting Komentar