Minggu, 16 Oktober 2011

Kangkung di Rawa Lintah

Oleh: Zahra Nurul Liza
Sumber: Harian Aceh

innoboy34.blogspot.com
Jingga. Pancaran warna bunga kangkung yang semakin merona. Pertanda kalaulah kangkung sudah lewat masanya. Tak ada lagi yang menghiraukannya. Sebab kau yang saban hari memetiknya sudah tiada. Telah habis waktunya.
***
Matahari terbit. Ayam dan burung menjerit-jerit. Menjadi hiasan pagi yang rumit. Kau, memulai hari dengan pergi ke rawa-rawa sempit. Mencari sedikit duit dari mereka orang-orang pelit. Tanpa pernah peduli pada sebagian orang yang jijik. Serta matahari yang sungguh pelik. Kau, yang sebenarnya Makku sendiri selalu menghabiskan hari di rawa-rawa ini untuk mencari beberapa suap nasi. Kemudian, akan kau sulangkan pada kami, anak-anakmu ini.
Pagi ini, kau mulai lagi harimu dengan melangkahkan kaki ke dalam rawa yang penuh lintah. Memetik satu persatu batang kangkung yang sebagian patah. Aku adalah anakmu yang hanya memperhatikanmu dari jendela ini. Tak lebih. Sebab hanya itu yang bisa kulakukan untuk menjaga semangatmu agar tak patah. Mak, sesekali kau berikan senyuman itu untukku, yang memperhatikanmu dari jendela ini. Seakan kau tegaskan bahwa tak ada lelah letih dalam jiwamu itu.
Matahari, perlahan-lahan pasti mendaki ke puncak hari. Jengkal demi jengkal tanpa kita sadari. Ah, Mak masih saja setia pada hari. Tekat untuk memperbaiki nasib walau hanya untuk hari ini. Sayang, aku hanya bisa memandang dari kejauhan. Sebab kaki tak mengizinkan. Sekarang, yang hanya bisa aku lakukan adalah berdoa pada Tuhan agar Mak diberi kekuatan.
Mak pulang membawa kangkung beberapa ikatan. Diletakkannya di hadapan. Mata ini hanya bisa memandang kesegaran dan kenikmatan kangkung dari kejauhan. Hingga hadir bayangan semangkuk kangkung dihidangkan. Tapi, sayang itu hanya angan. Sebab telah lama aku tak pernah lagi menjadikan kangkung sebagai hidangan. Setelah malam itu, kebetulan kangkung Mak tak habis laku. Kalau bukan sebab itu maka tak pernah aku makan kangkung seumur hidupku.
Dari masjid, muazzin memberitahukan bahwa telah sampai waktu bercumbu dengan Tuhan. Yang harus segera dilaksanakan sebab tak ada yang tahu kapan  nyawa hilang. Mak, segera memulai puji-pujian yang hanya dipersembahkan kepada Tuhan. Dan setelah itu Mak akan melanjutkan hari dengan berjualan. Kangkung yang sudah dipetiknya dari rawa-rawa sempit itu akan dijajakan di pasar tradisional dengan harga seribu rupiah perikatan. Setelah habis berjualan, Mak beranjak pergi untuk memberi jatah kepada pemilik rawa lintah, yaitu setengah upah.
Memanglah mereka bak lintah. Menghisap darah menghasilkan nanah. Rasa telah pergi sudah. Meninggalkan raga yang telah basah. Tak peduli pada dosa yang terus menebal, sebab sudah terlanjur takut pada kenistaan yang diciptakan sendiri dalam resah.
Rawa yang dipenuhi lintah. Tak ada yang mau memanfaatkannya hingga menghasilkan upah. Hanya Mak sendiri. Demi kami mengabaikan  sakit gigitan lintah. Memetik kangkung saban hari dari rawa lintah. Tak pernah Mak pulang dengan kaki yang tak berdarah. Selalu saja satu dua lintah menempel  dengan kuat di betis yang basah. Hingga Mak bak menjual darah untuk mendapatkan upah. Demi anak-anaknya yang terlanjur lemah.
Pernah suatu hari. Kumembatatkan diri ikut Mak pergi. Walau dengan merangkak tak bisa berdiri aku nekat pergi. Tapi, yang terjadi Mak memarahiku dengan berani. Tak seperti biasa lagi, Mak memarahiku sepanjang hari. Padahal aku hanya ingin membantunya walau hanya untuk hari ini. Tapi, Mak tak mau mengerti. Tetap saja dia memarahi. Ya, aku pahami. Pada rasa sayang Mak yang berlebih pada kami. Jadi, kuturuti saja semua keinginan Mak. Sebab, aku tak mau melihat Mak mengeluarkan air mata lagi setelah mengeluarkan darah untuk lintah saban hari.
Sekarang, pagi telah kembali. Tak ingin banyak basa basi tentang pagi ini. Sebab kutakut muak pada cerita basi. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Mak telah pergi ke rawa lintah yang sebenarnya tak jauh dari rumah. Tepat kuceritakan letak rawa lintah di belakang rumahku ini.
***
Petang. Hati dingin. Berdialog dengan angin. Tuhan, telah memindahkan Mak ke sisi lain. Dengan sebab kecil yang diiming-iming. Terpeleset ketika di rawa lintah adalah penyebab Mak berpindah. Meninggalkan kusendiri dalam gelap. Aku. Mencoba menjalani hidup dengan harap perlahan-lahan bisa menghapus awan gelap.

0 komentar:

Posting Komentar